Seni Bandung dan Kolaborasi Dengan Tukang Gusur

Gambar Diambil dari buruan.co


[Barra Pravda]

Seni Bandung, adalah hajatan Pemkot Bandung yang dinahkodai Ridwan Kamil. Ridwan Kamil juga yang menahkodai kebijakan penggusuran, pembangunan-pembangunan yang merusak lingkungan. Dan, suka menyosor kekuatan tentara.
Perhelatan Seni Bandung menuai polemik, mesti belum membesar. Itu bagus. Polemik. Itu inti dari dialektika.
Yang membuat kaum demokrat, reformis dan kritikus sejati tergiur dengan perhelatan semacam ini adalah legitimasi: Ini (bisa dijadikan) ruang kita untuk mengkritik. Betulkah? Mari periksa legitimasi itu.
Pertama:
Logika itu tampak mulia dan tidak bermasalah jika yang dilihat hanya tujuan ‘memanfaatkan’ ruang untuk kritik. Sejauh apa kritik itu ampuh, apalagi tanpa perspektif pengorganisiran massa? Apalagi pengorganisiran massa jarang dikembangkan sebagai metode bagi mereka penganut legitimasi kritik-dari-dalam. Dan, yang jadi persoalan, legitimasi kritik-dari-dalam hadir setelah rencana perhelatan tersebut dikritik. Bukan sejak awal punya niat mengkritik-dari-dalam. Ini sebuah legitimasi yang artifisial. Mengingatkan padaku tentang legitimasi PRD, juga kaum kirjok (kiri-Jokowi) pada pemilu 2014 lalu, masuk dalam kekuasaan: change with in, kata mereka. Dan mereka yang menolak taktik kritik-dari-dalam langsung dicap kekiri-kirian. Selesai persoalan. Tak perlu melihat konteks, tak perlu dilelahkan dengan analisa materialisme-dialektik. Dan sekarang, setelah taktik kritik-dari-dalam, apa yang terjadi? Setelah PRD membuka peluang agar kader-kadernya masuk ke partai penipu rakyat, apa yang terjadi? Setelah Hilmar Farid menjadi Dirjen Kebudayaan, apa yang terjadi?
Kedua:
Taktik mengkritik-dari-dalam harus diperhadapkan dengan persoalan melegitimasi-program-musuh-rakyat. Kalkulasi matematis untung-ruginya perlu dihitung. Kritik dari dalam akan berakhir setelah perhelatan berakhir, dan, rezim yang bengal tetap berlalu begitu saja dengan kebijakan-kebijakannya. Dan lagi, rakyat akan melihat kenyataan bahwa kaum gerakan berkolaborasi dengan musuh rakyat. Pasti rakyat bingung. Yang mana ini sahabat rakyat? Ketika seniman dan budayawan Bandung menolak lahan eks-Palaguna dibangun mall dan hotel, lalu beberapa komponennya terlibat dalam program bersama pembuat kebijakan itu, rakyat akan bingung mencari siapa sahabatnya. Kalkulasi matematis perlu dihitung sebab, mengkritik dari dalam juga berkonsekuensi melegitimasi musuh rakyat. Dan saya masih yakin betul dengan kesimpulan bahwa kesalahan politik jauh lebih berbahaya ketimbang kesalahan artistik.
Ketiga:
Perhelatan Seni Bandung, selain dimeriahkan oleh kaum demokrat dan reformis, juga diikuti oleh seniman borjuis, yang mewarisi zaman Romantik, yang sublim itu, yang dekat sekali dengan kekuasaan, yang tak pernah resah dengan penggusuran dan pembangunan mall, hotel, kondotel perusak lingkungan. Tapi memang begitulah takdir-historis kaum reformis karena, ‘reformasi’, dimaknai Martha Hernecker, ‘sebagai bangkitnya kekuatan lama yang mempertahankan kekuasaannya dengan cara mengadaptasikan secara terbatas tuntutan-tuntutan kekuatan baru’.
Sudahkah seniman borjuisnya dikritik secara terbuka dan keras oleh kaum reformisnya? Aku belum menemukan kritiknya.
Keempat:
Seni Bandung sudah memesan tema yaitu “Air, Tanah, Udara”. Abstrak sekali, bukan(?). Khas elite, gemar dengan yang abstrak. Penyelenggara Seni Bandung juga sering menonjolkan aspek ‘demokratis’nya yaitu konsep partisipatori (melibatkan warga, seniman, komunitas, akademisi, dll). Benarkan partisipatoris? Coba periksa dahulu, karena, Bank Dunia juga sudah mengadopsi marxisme dengan menggunakan metode partisipatoris. Benarkah Seni Bandung partisipatoris? Propagandis politik borjuis juga selalu mengkhotbahkan partisipasi ketika pemilu, setelahnya, jangan harap partisipatif jika ‘wakilnya’ tidak amanah. Itu model partisipatoris formal, abal-abal. Demokrasi formal. Dan tidak masalah juga mempersamakan konsep partisipatorisnya Seni Bandung, Bank Dunia dan politisi borjuis (dan ini bukan logical fallacy) karena karakter satu-sama-lain bisa dipertukarkan nilai partisipatorisnya.
Lenin, dalam pembangunan kesadaran klas pekerja tak sekedar partisipatoris, namun, menjadikan klas pekerja sebagai subjek demokrasi menentang kekuasaan Tsar. Model demokrasi ini disebut demokrasi revolusioner. Beda dengan demokrasi liberal yang dikemudikan oleh borjuis. Demokrasinya terbatas karena, jika demokrasi didorong maju kapasitasnya, kapitalisme akan kehilangan banyak hal terutama menyangkut distribusi (mendemokratiskan) alat produksi dan kekayaan. Demokrasi revolusioner kemudian ditumbuh-kembangkan dalam proyek Sosialisme Abad 21 yang berlangsung di Amerika Latin dengan sebutan demokrasi partisipatoris-protagonis. Partisipatoris-protagonis adalah model demokrasi yang mendorong seluas-luasnya partisipasi rakyat, dan rakyatlah yang mendaulatkan dirinya berperan sebagai aktor utama. Tentu dalam pengertian secara simultan membangun integrasi kesadaran massa. ‘Demokrasi model ini’, kata Lebowitz ‘merupakan demokrasi rakyat yang mentransformasikan dirinya menjadi subyek revolusioner’. Contoh lain dari praksis partisipatoris yang tidak abal-abal adalah Orcamento Participativo diPorto Alegre, Rio Grande do Sul, Brazil.

PEMBEBASAN Bandung

Mari Berteman:

1 komentar:

  1. Bosan dengan game yang tidak jelas? Dan Ingin game yang menarik ? silahkan kunjungi saja web kami di s1288poker terbaik, tercepat, teraman & terpercaya kami disini juga menyediakan berbagai game judi online yang tidak kalah serunya seperti Poker, Domino, Capsa , Ceme, ceme keliling dan live poker serta anda juga akan di temanin oleh CS kami yang ramah dan online 24jam (WA : 08122221680)

    BalasHapus