Gambar diambil dari http://in-cyprus.com/womens-history-month/ |
[Resa Ria]
Pembagian kerja
secara seksual yang terjadi dalam keluarga menempatkan perempuan pada posisi
yang tidak seimbang dengan laki-laki. Perempuan dibebani tanggung jawab yang
sedemikian besar, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah tangga.
Perempuan dengan tanggung jawabnya tersebut, telah memaksa mereka untuk mencari
jalan keluar dari masalah tersebut.
Adanya pembagian
kerja yang jelas dalam rumah tangga membuat perempuan memiliki tanggung jawab
terhadap pemenuhan konsumsi rumah tangga, sementara laki-laki bertanggung jawab
untuk memperoleh pendapatan. Hal ini berarti bahwa perempuan memiliki
konstribusi yang cukup besar dalam ekonomi keluarga. Intinya ketika perempuan
telah berumahtangga hampir seluruh hidupnya dihabiskan dengan mengurus urusan
rumah tangga.
Menurut Millet (dalam
Budiman, 1982) dalam bukunya yang berjudul Sex Politics, hubungan yang
terjalin antara perempuan dan laki-laki dilihat sebagai suatu hubungan politik.
Maksud dari hubungan politik adalah bahwa hubungan yang terjalin didasari oleh
struktur kekuasaan, dimana yang satu dikuasai oleh yang lain. Dalam hal ini
laki-laki dianggap memiliki kuasa atas perempuan. Hubungan seperti ini muncul
dalam sistem budaya patriarki.
Budaya patriarki
telah melahirkan suatu sistem pembagian kerja secara seksual. Pembagian kerja
inilah yang menyebabkan perempuan berada pada status subordinant. Dalam budaya
patriarki segala sesuatu diselesaikan dengan menggunakan garis otoritas ayah.
Menurut Ihromi (2000), patriarki mengacu pada sistem sosial politik yang
memberi hak-hak utama kepada laki-laki, yang berimplikasi merugikan kaum
perempuan.
Perempuan dalam
budaya patriarki bertugas untuk mengatur seluruh kebutuhan keluarga (makanan,
pendidikan, dan lain-lain). Ketika sumber penghidupan keluarga tersebut
mengalami masalah, maka perempuanlah yang akan pertama kali mendapatkan
dampaknya. Sifat dan kondisi yang ada pada perempuan merupakan hasil turun
temurun yang disosialisasikan dalam keluarga. Ada semacam norma yang tidak
tampak yang menakdirkan mereka untuk bekerja keras menjamin kelangsungan hidup
keluarganya. Ini yang kemudian membuat perempuan berada pada kondisi yang
rentan terhadap masalah ekonomi.
Dalam rumah tangga,
terdapat kebutuhan-kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Menurut Havillan
(1985), manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu untuk tetap
hidup, manusia senantiasa beradaptasi melalui medium kebudayaan pada waktu
mereka mengembangkan cara-cara untuk mengerjakan sesuatu sesuai sumber daya
yang mereka temukan dan juga dalam batas-batas lingkungan tempat mereka hidup.
Dengan kata lain manusia akan menggunakan berbagai macam strategi untuk dapat
memenuhi kebutuhannya secara maksimal. Mereka akan bekerja atau melakukan
kegiatan ekonomi untuk memaksimalkan pendapatan dan memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Beberapa perempuan
akan memilih untuk mencari penghasilan tambahan dengan bekerja (sektor publik),
itupun bisa terjadi jika suami mengijinkan. Namun ketika perempuan tidak
memiliki akses untuk memperoleh pendapatan, maka mereka harus mencari jalan
keluar untuk memecahkan masalahnya tersebut. Salah satu jalan keluar yang
mereka gunakan adalah dengan memanfaatkan jasa rentenir.
Pada keluarga miskin
dengan bapak miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya
secara memadai akan menyalurkan beban ini kepada istrinya (ibu) untuk membantu
menghidupi keluarga (Suparlan dalam Murray, 1995). Mereka tidak bisa hanya
mengandalkan pendapatan suami, mereka harus bisa mengatasi masalah ekonomi
dalam kehidupan rumah tangganya.
Permasalahan muncul
ketika laki-laki (suami) tidak memperoleh pendapatan yang cukup, sehingga tidak
dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga keluarganya. Di sisi lain, perempuan
(istri) bergantung secara ekonomi kepada laki-laki karena pekerjaan yang mereka
lakukan di rumah tidak menghasilkan pendapatan. Bahkan pada keluarga miskin
dengan bapak miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga
keluarganya secara memadai akan menyalurkan beban tersebut kepada istri untuk
membantu menghidupi keluarga (Suparlan dalam Murray, 1995). Inilah yang
kemudian menjadikan perempuan berada pada kondisi yang rentan terhadap masalah
ekonomi. Krisis ekonomi yang terjadi pada rumah tangga telah membawa perempuan
dalam perjuangan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Dalam penelitian
Andriati (2008) tentang kehidupan nelayan pantai di Kejawan Lor, Surabaya,
sulitnya kehidupan masyarakat nelayan telah menghendaki keterlibatan perempuan
dalam ekonomi rumah tangga. Istri nelayan bertanggung jawab penuh terhadap
kehidupan ekonomi rumah tangganya. Mereka bukan hanya mengurus pekerjaan
domestik, namun mereka juga harus memasarkan ikan hasil tangkapan suaminya.
Istri nelayan ini menggunakan waktu kerjanya hampir sepanjang hari. Mereka
hanya akan beristirahat saat waktunya tidur. Hal ini berbeda dengan suaminya,
waktu nelayan lebih banyak di daratan daripada di laut. Pada waktu di darat
mereka umumnya hanya memperbaiki dan menyiapkan perlengkapan memancing. Namun
selebihnya mereka gunakan untuk beristirahat dan bersantai dengan alasan lelah.
Hal serupa juga
terjadi di kehidupan para istri nelayan di Tuban Kota (Andriati, 2008). Curahan
waktu yang diberikan oleh istri nelayan lebih besar dibandingkan suaminya dalam
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Para istri nelayan ini membagi waktu mereka
mengurus urusan rumah tangga. Para istri nelayan ini membagi waktu mereka untuk
mengurus urusan rumah tangga dan untuk mencari penghasilan. Penghasilan
tambahan mereka peroleh dengan mencari kerang, rumput laut, dan udang untuk
kemudian dijual. Selain itu terkadang mereka ikut melaut bersama suaminya.
Hasil tangkapan pun mereka yang jual ke pasar. Nyaris tidak ada waktu bagi
mereka untuk beristirahat. Jika pendapatan mereka tidak cukup dan suami tidak
melaut, maka mereka akan berhutang kepada warung atau menjual barang yang bisa
dijual seperti emas. Para istri nelayan berpendapat bahwa bekerja untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga adalah suatu kewajiban.
Begitu pula perempuan
pada masyarakat nelayan di desa Angkue (Pandu dkk, 2011). Istri nelayan di desa
ini telah ikut ambil bagian dalam menambah pendapatan keluarga. Selain mereka
harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri dan perbekalan bagi suami
untuk melaut, ibu-ibu di Desa Angkue juga masih aktif dalam kegiatan-kegiatan
sosial kemasyarakatan seperti kegiatan PKK, arisan dan pengajian sebagai wujud
partisipasinya di dalam kehidupan bermasyarakat. Namun dalam ekonomi bentuk
partisipasi seorang istri nelayan di Desa Angkue ada dua hal yaitu mengolah
ikan-ikan hasil tangkapan suami termasuk menjualnya, selain itu juga biasanya
istri-istri nelayan memilih profesi sebagai pengolah ikan asin ataupun buruh
pengikat rumput laut. Ada juga dari beberapa istri nelayan yang membuka usaha
seperti warung makan ataupun warung bahan-bahan pokok kebutuhan rumah tangga.
Dari hasil mereka ini lah, kekurangan penghasilan suami dapat ditutupi.
Kegiatan-kegiatan diatas merupakan bentuk dari partisipasi dari para istri
nelayan di Desa Angkue dalam upaya meningkatkan ekonomi keluarganya.
Pada kasus di
perkotaan dapat dilihat dalam penelitian Jellinek (1995), para ibu rumah tangga
di Kebon Kacang, Jakarta membuka warung nasi untuk meningkatkan pendapatan
rumah tangganya. Para ibu ini bukan hanya melakukan aktivitas domestik, mereka
juga berperan sebagai sumber ekonomi rumah tangga.
Dalam penelitian
Murray (1995), para ibu berdagang untuk dapat bertahan hidup di kota besar. Ia
menggambarkan perempuan miskin atau ibu miskin sebagai orang yang menderita
karena banyaknya peran yang harus dijalankan. Bahkan seringkali para perempuan
mengorbankan martabat dan kehormatannya. Kemiskinan seringkali mengharuskan
perempuan untuk bekerja. Murray juga beranggapan bahwa ibu berperan sebagai
manajer rumah tangga yang merupakan satuan sosial ekonomi.
Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sajogyo (1983), ketika keluarga sudah tidak mungkin untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, maka salah satu anggota keluarga itu diberikan kesempatan
bekerja mencari nafkah. Pada kasu-kasus di atas anggota keluarga yang diberikan
kesempatan bekerja adalah ibu. Namun hal ini tidak berlaku di setiap
masyarakat. Sebagai ibu rumah tangga (IRT), untuk dapat bekerja perempuan harus
dapat memperoleh izin dari suami terlebih dahulu. Perempuan yang memperoleh
izin dapat mencari tambahan nafkah untuk keluarganya. Lain halnya ketika ia
(perempuan) tidak memperoleh izin dari suaminya, maka harus ada strategi-strategi
lain yang disiapkan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi seperti
itulah yang menjadi motivasi untuk mencari tahu strategi-strategi yang
dilakukan oleh para Ibu Rumah Tangga sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup
rumah tangganya.
Adanya pembagian
kerja dalam rumah tangga memunculkan kondisi-kondisi dimana perempuan menjadi
memiliki beban ganda (double burden). Satu sisi mereka memiliki tangga
jawab pada sektor domestik, dan di sisi lain mereka juga harus bertanggung
jawab terhadap pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Pembagian kerja dalam rumah
tangga membuat mereka (perempuan) seringkali berada pada kondisi yang rentan
terhadap masalah ekonomi.
Dalam
mempelajari fenomena ini, penulis menggunakan konsep peran dan startegi coping.
Konsep peran akan menjelaskan tentang posisi perempuan sebagai ibu rumah tangga
dalam ekonomi rumah tangga. Sedangkan konsep strategi coping akan
menggambarkan upaya-upaya yang dilakukan ibu rumah tangga untuk dapat memenuhi
kebutuhan rumah tangganya, khususnya dengan cara memanfaatkan jasa rentenir.
Peran Perempuan dalam
Keluarga dan Rumah tangga
Keluarga merupakan
satuan terkecil dari masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak (keluarga
batih). Burges dan Locke (1960) mendefinisikan keluarga sebagai suatu kesatuan
dari sejumlah orang yang saling berinteraksi dan berkomuniasi dalam rangka
menjalankan peranan sosial mereka sebagai suami, istri, ibu, bapak, dan anak
(dalam Ihromi, 1990:5).
“Keluarga dan rumah
tangga didefinisikan oleh kebudayaan. Rumah tangga adalah satuan tempat tinggal
yang berorientasi pada tugas (task); sedangkan keluarga adalah pengelompokan
kerabat yang tak harus tinggal di satu tempat (localized). Bukan kerabat yang
tinggal bersama, seperti pembantu atau pesuruh yang bekerjasama dalam kegiatan
tertentu, adalah anggota rumah tungga; sedangkan kerabat yang tak tinggal
bersama biasanya (tak selalu) berafiliasi dengan rumah tangga yang lain..” (Wilk
dan Netting 1984; Hammel 1984; Carter 1984 dalam Saifuddin, 1999)
Menurut Koerner dan
Fitzpatrik (2004), salah satu definisi keluarga adalah secara fungsional.
Definisi secara fungsional lebih menekankan pada terpenuhinya tugas-tugas dan
fungsi-fungsi psikososial. Fungsi psikososial ini mencakup antara lain
perawatan, sosialisai pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan
peran-peran tertentu.
Setiap anggota
keluarga memiliki perannya masing-masing. Adanya peran pada setiap keluarga
telah memunculkan pembagian kerja berdasarkan gender. Menurut Andayani, dalam
keluarga telah terbentuk suatu sistem pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja dalam keluarga terbagi menjadi
dua posisi yaitu publik dan domestik. Seperti yang diungkapkan Budiman (1982),
bahwa suatu pembagian kerja dimana perempuan sebagai istri berperan di sektor
domestik yaitu menjadi istri atau ibu yang mengurus anak dan rumah tangga,
sedangkan laki-laki pergi keluar rumah mencari nafkah untuk keberlangsungan
hidup seluruh anggotanya.
Hal serupa juga
diungkapkan oleh Notopuro (1984), dimana pembagian kerja antara ibu dan ayah
dalam keluarga menempatkan ayah berada pada ranah publik karena kedudukannya
sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga dan ibu memiliki kedudukan di ranah
domestik. Ibu seringkali dianggap hanya sekedar wanita yang memiliki tiga
fungsi yaitu memasak, melahirkan anak, berhias, atau bisa dibilang hanya
memiliki tugas dapur, sumur dan kasur. Pembagian kerja ini dilakukan sebagai
bentuk kerja sama dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Laki-laki
bertanggung jawab mencari nafkah dan perempuan bertanggung jawab pada
pengaturan pemenuhan kebutuhan rumah tangga.
Namun pembagian kerja
ini seringkali tidak berjalan dengan lancar. Misalnya ketika salah satu peran
anggota keluarga tidak dilakukan maka akan menyebabkan munculnya krisis dalam
rumah tangga. Krisis yang terjadi dalam rumah tangga ini memaksa perempuan untuk
mencari cara atau pendapatan tambahan untuk mencukupi kebutuhan rumah
tangganya. Ini juga disebabkan tanggung jawab dalam mengatur pemenuhan
kebutuhan rumah tangga berada di tangan perempuan. Maka dari itu pembagian
kerja berdasarkan jenis kelamin ini telah membuat perempuan memiliki peran
ganda.
Dalam
banyak kajian sosiologis tentang perempuan menunjukan bahwa posisi dan peran
perempuan di masyarakat masih berada pada posisi yang terpinggirkan. Khususnya
di negara berkembang dimana perempuan bukan hanya memilii peran ganda tapi juga
beban ganda (double burden). Perempuan memiliki tanggung jawab penuh
terhadap sektor domestik. Mereka terikat oleh norma dan aturan yang ada di
masyarakat, khususnya yang menganut sistem patriarki. Dalam budaya patriarki,
perempuan bertugas untuk mengatur seluruh kebutuhan keluarga (makanan,
pendidikan, dan lain-lain). Ketika sumber penghidupan keluarga mengalami
masalah, maka perempuanlah yang akan pertama kali memperoleh dampaknya. Ada
semacam norma yang mengharuskan mereka untuk bekerja keras menjamin
kelangsungan hidup keluarganya. Kondisi seperti inilah yang membuat perempuan
seringkali berada pada kondisi yang rentan terhadap masalah ekonomi. Seperti
halnya yang terjadi pada perempuan miskin di Bangladesh yang memiliki kedudukan
sosial yang paling rawan di lingkungan keluarganya. Di sana ketika ada salah
satu anggota keluarga yang mengalami kelaparan, ada semacam hukum tak tertulis
yang mengatakan bahwa ibulah orang yang pertama mengalaminya (Ferricha 2011;
Ihromi 2000; Saptari dan Holzner 1997; Budiman 1982).
Perempuan yang telah
berumah tangga seringkali dikondisikan dalam keterpurukan sebagai pekerja
domestik di rumah. Perempuan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
keluarganya. Hal ini membuat perempuan menjadi individu yang rentan terhadap
masalah ekonomi. Pada keluarga miskin dengan bapak miskin yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya secara memadai akan menyalurkan beban ini
kepada istri (ibu) untuk membantu menghidupi keluarga (Suparlan dalam Murray,
1995). Inilah yang dimaksud dengan beban ganda (double burden). Satu
sisi mereka bertugas mengurus urusan domestik, di sisi lain mereka harus
mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarganya.
Menurut Jane (1991:
65), keluarga sebagai satuan terkecil masayarakat mengalami masalah kekurangan
ekonomi, menjadi alasan kuat para perempuan melakukan peningkatan ekonomi
dengan melakukan kegiatan ekonomi dan menambah penghasilan. Ini merupakan salah
satu alasan bagi para perempuan (ibu) untuk melakukan tindakan untuk dapat
memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pada banyak kasus,
ibu seringkali menjadi penyelamat bagi perekonomian keluarganya. Pada keluarga
dengan tingkat ekonomi rendah, ibu bukan hanya berperan di ranah domestik
tetapi juga di ranah publik. Ini terjadi karena suami atau bapak sebagai
pencari nafkah utama tidak dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga. Pada
penelitian Jellinek di Kebon Kacang, Jakarta, para ibu membuka warung nasi
untuk meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Para ibu ini bukan hanya
melakukan aktivitas domestik saja tapi juga mereka berperan sebagai sumber
ekonomi rumah tangga.
Begitu
pula dalam penelitian Murray, dimana para ibu berdagang dengan tujuan agar
dapat bertahan hidup di kota besar seperti Jakarta. Dalam penelitiannya, wanita
miskin atau ibu miskin digambarkan sebagai orang yang menderita karena terlalu
banyaknya peran yang harus dijalankan yang bahkan termasuk mengorbankan
martabat dan kehormatannya. Kemiskinan seringkali jadi mengharuskan perempuan
untuk bekerja. Murray juga melihat ibu sebagai manajer rumah tangga dalam
satuan sosial ekonomi. Menurut Sihite (dalam Ihromi,1995) keterlibatan
perempuan di sektor publik setidaknya memiliki dua tujuan, yaitu untuk membantu
suami menambah pendapatan dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup rumah
tangganya yang selalu berada di garis subsisten. Perempuan adalah agen yang
terampil dalam melakukan strategi-strategi untuk keberlangsungan hidup mereka
sehari-hari, yang mereka pergunakan untuk menghadapi ketiadakamanan ekstrim
dari kondisinya (Murray, 1995:55).
Strategi Coping dalam
Pemenuhan Kebutuhan Keluarga
Pendapatan menjadi
faktor terpenting dalam kehidupan rumah tangga sebagai sumber daya untuk
pengeluaran konsumsi. Menurut Sudarsono (1995), konsumsi adalah keseluruhan
biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup
(makanan, pakaian, rumah, pendidikan, kesehatan dan lain-lain). ketika berumah
tangga permintaan pemenuhan kebutuhan hidup menjadi semakin besar, karena bukan
hanya mengenai kebutuhan seseorang melainkan seluruh anggota rumah tangga.
Fungsi rumah tangga
menurut Saptari dan Holzner (1997) adalah menjalankan kegiatan produksi untuk
memperoleh penghasilan, penggabungan penghasilan dan konsumsi bersama serta bertempat
tinggal bersamaa. Evars dalam Lesmanawati (1994) menegaskan bahwa konsep rumah
tangga lebih ditekankan pada fungsi kebersamaan (sharing) dalam anggaran
belanja (expenditures) untuk kebutuhan sehari-hari, pendapatan (income),
serta fungsi penyediaan tempat tinggal. Melalui konsep rumah tangga di atas
terlihat bahwa rumah tangga berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan anggotanya
melalui pendapatan rumah tangga yang dibelanjakan.
Pendapatan rumah
tangga dikonsumsi atau digunakan untuk suatu tujuan pemenuhan kebutuhan.
Berdasarkan nilai gender yang berlaku di masyarakat, pendapatan rumah tangga
seharusnya menjadi tanggung jawab laki-laki selaku pencari nafkah. Namun bila
terjadi suatu kondisi dimana laki-laki tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga
secara memadai membuat perempuan memiliki beban ganda. Inilah yang membuat
partisipasi perempuan dalam upaya pemenuhan kebutuhan rumah tangga tidak kalah
penting dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini didorong oleh pendapatan suami
yang tidak memadai, sehingga mereka mencari penghasilan tambahan dengan merubah
perannya dari ranah domestik (dalam rumah tangga) ke ranah publik (diluar rumah
tangga) (Munandar, 1985).
Tekanan ekonomi rumah
tangga yang disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan pada keluarga dan masyarakat
semakin lama semakin kompleks. Dengan kata lain pengeluaran rumah tangga bukan
hanya terbatas pada kebutuhan pangan dan sandang, tetapi juga pada
kebutuhan-kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Hal ini
memungkinkan munculnya kondisi dimana suami tidak sanggup menanggung sendiri
beban ekonomi keluarga. Dengan kondisi dan tanggung jawab yang dimiliki
perempuan dalam rumah tangga menjadikannya berada dalam kondisi yang rentan
terhadap masalah ekonomi.
Keterpurukan ekonomi
telah membawa perempuan dalam perjuangan terus memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Mereka harus membuat strategi agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Konsep strategi dalam ilmu-ilmu sosial berhubungan dengan cara bagaiman orang
menghadapi keadaan sulit dengan segala tantangan (Ibrahim dan Baheran, 2009).
Menurut White ada
tiga jenis strategi berdasarkan status sosial ekonomi rumah tangga, yaitu; 1)
strategi survival adalah strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup pada
tingkat minimum agar dapat bertahan hidup, 2) strategi konsolidasi adalah strategi
untuk memenuhi kebutuhan hidup yang dicerminkan pada pemenuhan kebutuhan pokok
dan sosial, 3) strategi akumulasi adalah strategi pemenuhan kebutuhan hidup
untuk mencapai kebutuhan pokok, sosial dan pemupukan modal. Ketiga strategi
tersebut menurut White tidak selalu muncul dalam suatu masyarakat. Strategi
yang muncul pada setiap masyarakat akan berbeda satu sama lainnya, karena
strategi yang dilakukan sangat bergantung pada kondisi ekonomi rumah tangga,
strategi apa yang akan dilakukan oleh suatu rumah tangga berkaitan dengan
kualitas sumber daya manusia.
Misalnya keluarga
pemulung yang pada umumnya kualitas sumber daya manusia cenderung rendah akan
berada pada strategi survival, karena mereka terlibat pada pekerjaan
kasar dan sektor informal sehingga penghasilannya hanya sekedar dapat memenuhi
kebutuhan hidup yang paling mendasar. Strategi keberlangsungan hidup yang
dilakukan keluarga miskin cenderung berbeda karena berbagai faktor, antara lain
dilihat dari besarnya jumlah anggota keluarga, penghasilan serta tempat
tinggal, apakah itu di desa atau kota (Ibrahim dan Baheram, 2009).
Menurut Benet (dalam
Ahimsa,1985) strategi rumah tangga adalah pola-pola yang dibentuk oleh berbagai
penyesuaian yang direncanakan oleh manusia untuk memecahkan masalah baik yang
secara langsung dihadapi maupun tidak dengan menggunakan sumber-sumber daya
yang ada. Usaha yang dilakukan seseorang adalah agar dapat memenuhi syarat
minimal yang dibutuhkan dan langsung mereka hadapi. Suharto menyebutkan kondisi
strategi yang dilakukan oleh seseorang disebut coping strategies.
Secara terminologis coping
strategies bisa diartikan sebagai siasat untuk menanggulangi persoalan
(Setia, 2005). Secara umum, coping strategies dapat didefinisikan
sebagai kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Dengan kata lain, Coping
strategies merupakan upaya penanggulangan masalah yang dilakukan
perorangan, kelompok atau komunitas melalui mekanisme tertentu agar dapat
mencapai keadaan yang lebih baik (Sudrajat, 2006).
Menurut Lazarus dan
Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah suatu proses dimana
individu mencoba untuk kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan
dengan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut. Dodds (1993)
mengemukakan bahwa esensi dari strategi coping adalah strategi yang
digunakan individu untuk melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang
dimilikinya dengan tuntutan yang dibebankan lingkungan kepadanya.
“Menurut
Snel dan Staring (2001), coping strategies merupakan rangkaian tindakan yang
dipilih secara sadar oleh individu dan rumah tangga yang miskin secara sosial
ekonomi. Tindakan tersebut dilakukan untuk membatasi pengeluaran atau
mendapatkan penghasilan tambahan untuk membiayai berbagai kebutuhan dasar
seperti makanan, pakaian dan perumahan. Kecuali itu, untuk menjaga agar kondisi
sosial ekonomi individu dan rumah
tangga miskin
tersebut tidak jatuh lebih rendah dari standar kesejahteraan masyarakat
sekitarnya.” (dikutip dari Setia, 2005: 5-6)
Lebih jauh Suharto
(2002) menyatakan bahwa strategi bertahan hidup (coping strategies) dalam
mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara
tersebut dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
1) Strategi aktif,
strategi yang mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki. Seperti
memperpanjang jam kerja (lembur), memanfaatkan sumber atau tanaman liar
di lingkungan sekitar dan sebagainya.
2) Strategi pasif,
yaitu strategi yang dilakukan dengan cara mengurangi pengeluaran. Seperti
pengurangan biaya belanja, pendidikan dan sebagainya.
3) Strategi jaringan,
yaitu dengan memanfaatkan jaringan sosial yang dimiliki. Misalnya meminjam uang
pada tetangga, mengutang ke warung, meminjam pada rentenir atau bank.
Strategi ini banyak
dilakukan dalam mengatasi keterbatasan sumber pendapatan atau nafkah. Menurut
Friedman (1998), coping pada keluarga merupakan respon perilaku positif
yang digunakan keluarga untuk memecahkan suatu masalah. Strategi coping sebagai
bagian dari perilaku keluarga dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti sikap,
nilai (internal), potensi dan modal sosial. Hal tersebut secara signifikan
mampu membantu dalam pemenuhan kebutuhan pokok keluarga.
Salah satu contoh
kasus dalam penelitian Setia (2005), tentang pemenuhan kebutuhan hidup terjadi
pada keluarga buruh di Majalaya. Keluarga buruh melakukan upaya pemenuhan
kebutuhan dengan melakukan penghematan untuk menekan biaya konsumsi dan mengatasi
kekurangan uang tunai. Salah satunya dengan mengganti bahan bakar minyak tanah
dengan kayu bakar. Berutang kepada warung, kerabat dan orang tua juga menjadi
salah satu cara mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Menurut Maslow dalam
Sondang (1995: 146), tindakan atau tingkah laku seseorang atau suatu organisme
pada saat tertentu dipengaruhi oleh kebutuhannya yang paling mendesak. Maslow
menyatakan bahwa setiap manusia memiliki hierarki kebutuhan, dimana kebutuhan
tersebut dijadikan sebagai prioritas hingga kebutuhannya tersebut terpenuhi.
Jika kebutuhan pertama terpenuhi maka kebutuhan kedua akan menjadi prioritas
utama, dan begitulah seterusnya.
Maslow
mengklasifikasikan kebutuhan manusia pada lima tingkatan atau lima hierarki (hierarchy
of needs) yaitu:
1) Kebutuhan fisik (physiological
needs), adalah kebutuhan biologis yang langsung berhubungan dengan
kelangsungan hidup, seperti kebutuhan akan makanan, tempat tinggal dan
sebagainya.
2) Kebutuhan akan
rasa aman (safety needs), adalah kebutuhan keselamatan, perlindungan
dari bahaya, ancaman dan perampasan atau pemecatan dari pekerjaan.
3) Kebutuhan sosial (social
needs), adalah kebutuhan akan rasa cinta, kepuasan dalam menjalin hubungan,
dan perasaan memiliki serta diterima dalam suatu masyarakat dan diterima dalam
suatu kelompok.
4) Kebutuhan
penghargaan (appreciation needs), adalah kebutuhan akan status,
kedudukan, kehormatan, reputasi, dan prestasi.
5) Kebutuhan
aktulisasi diri (self actualization), adalah kebutuhan pemenuhan diri,
pengembangan diri semaksimal mungkin, kreatifitas, melakukan apa yang paling
disukai dan sebagainya.
Rentenir sebagai
Lembaga Keuangan Informal
Lembaga keuangan
hingga saat ini telah memainkan peranan penting dalam kehidupan perekonomian
masyarakat. Lembaga keuangan bekerja dengan menyalurkan dana dari pihak-pihak
yang berkelebihan kepada pihak yang membutuhkan dana. Berdasarkan legalitas
yang telah dibuat oleh pemerintah, maka lembaga keuangan terbagi menjadi dua
yaitu lembaga keuangan formal dan lembaga keuangan informal. Lembaga keuangan
formal adalah lembaga keuangan yang memiliki dasar hukum dan praktek kerjanya
diatur oleh undang-undang yang berlaku. Sedangkan lembaga keuangan informal adalah
lembaga keuangan yang tidak terikat oleh undang-undang, termasuk dalam praktek
kerjanya. Baik itu lembaga keuangan formal maupun informal, keduanya
menyalurkan dana dengan menggunakan sistem kredit.
Dalam Undang-undang
No. 14 tahun 1967 mengenai Pokok-Pokok Perbankan, yang dimaksud dengan kredit
atau pinjaman adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan pihak
lain dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah bungan yang telah ditetapkan. Kredit dalam
arti ekonomi berarti suatu penundaan pembayaran, artinya uang atau barang
diterima sekarang dan dikembalikan dimasa yang akan datang (Cahyono; 1983).
Menurut Heru Nugroho
(2001) yang membedakan antara lembaga keuangan formal dan informal adalah
nasabah. Lembaga keuangan formal cenderung digunakan oleh
masyarakat kelas menengah ke atas, sedangkan lembaga keuangan informal
digunakan oleh masyarakat menengah ke bawah. Selain itu perbedaan lainnya
adalah prosedur administrasinya. Pada lembaga keuangan formal dibutuhkan
sesuatu yang dianggap bisa menjadi jaminan seperti surat tanah, BPKB, dan
lainnya. Lain halnya dengan lembaga keuangan informal dengan administrasi yang
sederhana tanpa memerlukan jaminan dalam persyaratan peminjaman, factor trust
lah yang menjadi kunci mereka.
Kemudahan dalam
proses administrasi menjadi alasan lembaga keuangan informal lebih diminati
oleh masyarakat hingga saat ini. Eksistensi lembaga keuangan informal di
masyarakat menjadi bukti bahwa lembaga keuangan informal memiliki peranan dan
fungsi bagi masyarakat. Lembaga keuangan informal yang banyak kita kenal salah
satunya adalah Rentenir1 atau pelepas dana.
Lembaga keuangan
informal seperti rentenir lebih diminati masyarakat dibandingkan dengan lembaga
keuangan formal walaupun bunga yang dikenakan dalam peminjaman jauh lebih
tinggi. Hal ini karena proses administrasi lembaga informal yang tidak rumit,
tidak seperti lembaga keuangan formal yang prosedur administrasinya sulit untuk
diakses, khususnya kalangan menengah ke bawah. Selain itu lembaga informal
tidak membutuhkan jaminan. Maka dari kredit yang ditawarkan oleh rentenir lebih
popular dan mudah untuk diakses oleh siapa pun dan dari lapisan manapun.
Muhammad Yunus (2007) berpendapat para kaum kelas bawah ini bukan meminjam
dengan tanpa jaminan. Jaminan yang mereka berikan adalah kehidupan mereka esok
hari dan nyawa mereka tentunya.
Menurut Danarti dan
Hamka (2010), pemberian kredit yang dilakukan oleh rentenir didasari oleh
ketidakmampuan seseorang dalam hal permodalan dan jaminan. Penilaian kelayakan
kredit dinilai dari karakter dan kapasitas dari calon peminjam. Rentenir
berkembang seiring dengan proses pembangunan ekonomi masyarakat atau bahkan
tidak menutup kemungkinan jasa rentenir digunakan sebagai sarana untuk
kelangsungan hidup (survival strategy) dalam situasi krisis.
Sulitnya memperoleh
pinjaman atau kredit dari lembaga formallah yang memicu praktek kerja rentenir
untuk menawarkan pinjaman dengan bunga besar namun tanpa jaminan. Rentenir
adalah agen kapitalis yang seluruh kegiatannya untuk memperoleh profit.
Rentenir ibarat dua sisi mata uang, satu sisi mereka dianggap sebagai lintah
darat karena menarik uang dengan bunga tinggi. Namun di sisi lain rentenir juga
memiliki fungsi ekonomi yaitu sebagai sumber keuangan dalam kondisi emergency.
Praktek kerja yang
dilakukan rentenir ini memiliki etos untuk memperoleh uang atau keuntungan
sebanyak mungkin, yang kemudian menjerumuskan para nasabahnya. Nugroho
menyebutkan kondisi seperti itu sebagai “perbudakan bunga.” Kondisi
seperti itu timbul dari perilaku kerja rentenir yang dilakukan dengan cara memelihara
ketergantungan nasabah terhadapnya. Nasabah secara tidak disadari telah
digiring untuk masuk kedalam perangkap hutang oleh para rentenir. Cara untuk
menjamin ketergantungan ini adalah melalui startegi “Interest forever,
Capital never,” berarti bunga diwajibkan dibayar dalam setiap cicilan,
walaupun pinjaman pokok dibayar belakangan. Jadi hubungan antara keduannya
bersifat eksploitatif (Nugroho, 2001: 14).
Tidak adanya hukum
peradilan yang melarang atau mengatur praktek rentenir ini, membuat pemerintah
atau lembaga-lembaga terkait sulit untuk mengontrol praktek kerjanya. Walaupun
pemerintah telah membuat berbagai program yang dianggap bisa menyaingi
rentenir, tetap saja tidak bisa menghapus praktek kerja rentenir di masyarakat.
Ini disebabkan oleh dua hal, Pertama, lembaga keuangan informal dalam
hal ini rentenir lebih atraktif dalam menarik nasabah. Rentenir lebih fleksibel
dalam menjalankan prakteknya dengan menjalin hubungan personal dengan
nasabahnya. Fleksibilitas adalah kunci cara kerja rentenir. Fleksibilitas
menjadi cara rentenir untuk menjaga hubungan dengan nasabahnya. Contoh kasusnya
seperti ini, rentenir berupaya untuk memahami kondisi ekonomi dari nasabahnya,
maka tidak jarang rentenir memberikan penundaan pembayaran. Kedua, rentenir
memanfaatkan sistem kepercayaan yang merupakan bagian dari budaya transaksi
uang di pedesaan dalam menjalankan prakteknya. Hal ini membuat transaksi bisa
tetap dilakukan walaupun nasabah bukanlah orang yang terlalu dikenal. Itulah
mengapa praktek rentenir masih berlangsung hingga saat ini.
1 Rentenir berasal
dari bahasa Belanda yaitu rente, yang artinya bunga uang atau riba
(Musani, 1981, 82). Rentenir merupakan suatu kegiatan dimana ada seorang atau
sekelompok orang yang secara informal memberikan pinjaman atau kredit kepada
nasabah berupa uang dengan membebankan bunga yang sangat tinggi. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia rentenir atau sering disebut juga lintah darat
adalah orang yang mencari nafkah dengan membungakan uang (1990: 743).
*Resa Ria aktif di komunitas Samahita: Samahita melakukan kampanye anti kekerasan seksual. salah
satu kampanye yang dilakukan adalah dengan melaksanakan gerakan One Billion
Rising di Kota bandung setiap tanggal 14 Februari sejak tahun 2013. Selain
dengan melakukan kampanye secara langsuang, Samahita melakukan kampanye melalui media sosial yang dimiliki.
SELAMAT DATANG DI LOANME Tujuan kami adalah menyediakan layanan keuangan profesional yang sangat baik.
BalasHapusApakah Anda seorang pengusaha atau wanita? Apakah Anda mengalami kesulitan keuangan? Apakah Anda membutuhkan pinjaman untuk memulai bisnis kecil dan menengah yang bagus? Apakah Anda memiliki skor kredit yang rendah dan Anda merasa kesulitan untuk mendapatkan pinjaman modal dari bank lokal dan lembaga keuangan lainnya? Apakah Anda perlu uang untuk berinvestasi di bidang spesialisasi tertentu? Apakah Anda memiliki proyek yang belum selesai di ujung jari Anda karena pendanaan yang tidak memadai? Ini adalah kesempatan untuk mendapatkan pinjaman Anda hari ini untuk menyelesaikan semua masalah keuangan Anda.
kredit kami dijamin untuk keamanan maksimum adalah prioritas kami, tujuan utama kami adalah untuk membantu Anda mendapatkan layanan yang pantas mereka dapatkan, program kami adalah cara tercepat untuk mendapatkan apa yang Anda butuhkan dalam beberapa saat. Mengurangi pembayaran untuk mengurangi tekanan pada pengeluaran bulanan. Dapatkan fleksibilitas untuk digunakan untuk tujuan apa pun - dari liburan, pendidikan, hingga pembelian unik
Kami menawarkan berbagai layanan keuangan yang meliputi: Pinjaman Pribadi, Pinjaman Konsolidasi Utang, Pinjaman Bisnis, Pinjaman Pendidikan, Pinjaman Dijamin Pinjaman, Jaminan Pinjaman, Hipotek Pinjaman, Pinjaman Hari Gajian, Pinjaman Siswa, Pinjaman Komersial, Pinjaman Kredit Otomatis, Investasi Pinjaman , Pinjaman untuk Pengembangan, Pinjaman Pembelian, Pinjaman Konstruksi, Tingkat Bunga Rendah Dari 2% pada Pembatalan untuk Individu, Perusahaan dan Badan. Dapatkan yang terbaik untuk keluarga Anda dan rumah impian Anda serta skema pinjaman umum kami.
Kami menawarkan semua jenis pinjaman - mengajukan pinjaman murah.
Silakan hubungi kami untuk informasi lebih lanjut:
(ivanapedro85@gmail.com)
Silakan tulis kembali dengan informasi pinjaman;
INFORMASI PINJAMAN
DATA PEMOHON
1) Nama Lengkap:
2) Negara:
3) Alamat:
4) Status:
5) Jenis Kelamin:
6) Status Perkawinan:
7) Pekerjaan:
8) Nomor Telepon:
9) Posisi saat ini di tempat kerja:
10) Penghasilan Bulanan:
11) Jumlah Pinjaman yang Dibutuhkan:
12) Durasi Pinjaman:
13) Tujuan Pinjaman:
14) Agama:
15) Sudahkah Anda mendaftar sebelumnya:
16) Tanggal lahir:
Jika Anda tertarik untuk mendapatkan pinjaman, maka silakan hubungi kami dengan permintaan pinjaman Anda.
Silakan hubungi kami untuk informasi lebih lanjut:
ivanapedro85@gmail.com
Salam,
Nyonya Ivana Pedro
ivanapedro85@gmail.com
Kami berharap dapat mendengar dari Anda sesegera mungkin
Pelamar yang tertarik harus menghubungi kami melalui e-mail:
ivanapedro85@gmail.com
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut