MENYOAL SENI BANDUNG YANG KATANYA “PARTISIPATORI”

Kampung Kolase (sebelum Penggusuran). Foto oleh laughonthefloor.com

[Giovanni dessy Austriningrum]

Saya baru saja baca-baca beberapa artikel, jurnal, dan kajian soal seni untuk perubahan sosial dan estetika partisipatoris[1] ketika mendengar soal festival Seni Bandung (senibandung.id), sebuah helatan yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta Pemerintah Kota Bandung pada akhir September hingga akhir Oktober nanti. Katanya, sih “sebagai Kota Kreatif”. Dalam situs webnya, Seni Bandung menyatakan telah mengadakan rangkaian diskusi sejak bulan Maret 2017 melalui Forum Seni Bandung, menjelang “event seni kolaboratif” yang mengundang perupa, musisi, pegiat sastra, kelompok teater, penari dan pelaku seni lainnya.  Tema yang diangkat dalam event ini adalah “Ke arah mana, Estetika Partisipatori”.

Saya mendapatkan kopian undangan yang dikirimkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung dengan lampiran daftar undangan, dari jarkoman kawan-kawan yang diundang untuk terlibat dalam event seni ini namun menolak. Alasan mereka yang menolak saya dapat dipahami. Karena yang mengadakan adalah Pemerintah Kota Bandung yang notabene merestui penggusuran kampung Kebon Jeruk, penggusuran paksa PKL di berbagai titik, penggusuran Kampung Kolase, merelokasi dan mengubah paksa kampung bersejarah di Tamansari untuk program Kota Tanpa Kumuh-nya Bank Dunia, menghilangkan lahan hijau yang dianggap “terlantar” di Eks Palaguna untuk lahan komersil Grup Lippo, semuanya atas nama estetika dan menghilangkan kekumuhan. Entah berwujud trotoar “ala Eropa” dengan onde-onde bahan tambang atau taman-taman buatan.

Belum lagi soal pembubaran paksa oleh aparat featuring ormas (dan pembiaran pembubaran) berbagai acara mulai dari Sekolah Marx, Monolog Tan Malaka, lapakan Perpustakaan Jalanan, Ibadah Umat Kristen di Sabuga. Soal pembangunan Technopolis di Gedebage yang AMDALnya bermasalah, dimana Pemerintah Kota menggandeng Summarecon untuk menggantikan lahan permukiman dan sawah garapan masyarakat setempat dengan kota baru yang “hi-tech” dan “modern”. Atau soal wacana penggunaan insinerator (mesin pembakar sampah) untuk mengatasi persoalan sampah yang lagi-lagi lazim dianggap “perusak estetika”.

Daftar ini akan semakin panjang kalau kita bertanya pada berbagai komunitas soal bagaimana bermasalahnya Pemerintah Kota Bandung. Sangat ironis dan kontradiktif, ketika diajak “berkolaborasi” dengan Pemerintah Kota untuk membicarakan soal estetika partisipatoris, ketika yang bersangkutan melakukan hal-hal yang jauh dari “partisipatoris”. Yang meresmikan Seni Bandung pun Walikota Ridwan Kamil, yang ikutan juga meresmikan berbagai penggusuran dan tidak mengambil tindakan apa-apa kalau yang jelas-jelas melanggar hotel besar macam MAJ dan Premiere La Grande. Walikota ini juga yang saya dengar-dengar kabar angin dari kawan-kawan Planologi, seringkali dianggap sebagai salah satu tokoh walikota yang berhasil mewujudkan praktik “partisipatori” dalam pemerintahan melalui penggunaan media sosial. Tentu saja “partisipatori” disini artinya silakan terlibat, silakan tidak setuju, tapi ujung-ujungnya harus setuju sama Pemerintah Kota ((plus dibully sama barikade netijen pendukung fanatiknya)).

Polemik pun muncul ketika dalam daftar undangan tersebut, muncul nama-nama yang dianggap lazim menyuarakan isu-isu kemanusiaan dan aktivisme, yang kontennya kerapkali bicara soal penindasan, penggusuran, penderitaan rakyat, isu lingkungan, kelompok minoritas, kapitalisme, dan lain sebagainya itu. Nama komunitas yang menolak terlibat dicetak miring; yang tidak dicetak miring berarti sepakat. Mulai dari Wanggi Hoed, Mukti-Mukti, Ary Juliyant, Arman Jamparing dan Jatiwangi Art Factory berarti sepakat “berkolaborasi”. Alasan persetujuan mereka untuk terlibat belum saya ketahui maupun konfirmasi. Disinilah kemudian muncul problematisasi. Kira-kira mirip dengan kasus ArtJog yang disponsori Freeport pada Juni 2016 lalu. Apakah kemudian seniman-seniman yang memilih terlibat mengikuti Seni Bandung kemudian sama dengan “menjual kemanusiaan dan hati nurani” seperti yang ditudingkan oleh mereka yang memilih kontra? (Dengan mengingat keterjebakan kita bersama dalam kapitalisme, ya. Silakan periksa kembali kebutuhan sehari-hari yang notabene masih dipenuhi oleh perusahaan kapitalis dan yang pertukarannya masih terlibat dalam sistem moneter fiat).

Yang menjadi poin penting dalam kasus ini adalah bahwa kapitalisme neoliberal cepat atau lambat akhirnya menemukan celah-celah untuk mengkomodifikasi relasi-relasi sosial yang ditawarkan oleh “estetika partisipatori”. Prosesnya kira-kira mirip seperti saat jargon-jargon “sustainable”, “hijau”, “ramah lingkungan”, “reforma agraria” dan “koperasi” ditemukan potensinya untuk mengakumulasi kapital lebih banyak dan justru terbukti ampuh memberikan ilusi “konsumsi etis”, “progresif” dan “seolah-olah melawan”. Sama ketika musik punk, jazz, blues, bahkan musik etnik (juga yang sok-sok an eklektik) atau graffiti dan street art “dicuri” nilainya dari rakyat banyak.

Proses komodifikasinya seperti yang dibahas misalnya oleh David Harvey dan Richard Florida, bahwa estetika dan kreativitas yang mulanya milik semua orang (the commons) kini menjadi monopoli oligarki, sehingga akan mudah bagi mereka kemudian untuk menentukan mana yang “indah” dan bukan, mana yang berarti (matters) dan tidak. Mereka sudah lama menyadari bagaimana kreativitas dan seni bisa menjadi mekanisme biopolitis yang sedemikian efektif untuk menginsepsikan yang sublim-sublim, untuk kepentingan mereka yang tidak pernah punya komitmen untuk perubahan sosial dan partisipasi mendasar, misalnya soal kepemilikan kolektif, penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, pembagian nilai kerja dan nilai tukar yang adil, keselarasan dengan alam, dst.

Seni Bandung yang ingin menjadikan kota ini sebagai “panggung global” pada dasarnya merupakan mekanisme khas urbanisasi neoliberal, dimana kota diperlakukan seperti brand (merk) dan brand untuk Bandung masa kini adalah Kota Kreatif dan Ramah HAM tadi. Makannya tema “estetika partisipatori” ini cocok dengan imaji yang ingin dibangun: indah, kreatif dan peduli isu sosial kemanusiaan. Brand ini toh sudah terbukti ampuh menarik turis-turis yang siap memadati jalan-jalan kota Bandung tiap liburan dan akhir pekan. Juga terbukti ampuh memancing banyak investor untuk berlomba-lomba menanamkan dan mengembangbiakkan modalnya di Bandung. Karena seperti kata Ridwan Kamil sendiri, kalau jualan kita tidak bisa “jaga warung” dan harus proaktif![2]Seni Bandung adalah salah satu bentuk ke-pro-aktifan-itu.

Ada yang memilih resisten dan menolak terang-terangan, sembari bertekad membangun gerakan tandingan terhadap Seni Bandung. Ada pula yang memilih jalan “membajak dana pemerintah”.

Karena dari sudut pandang mereka, yakni beberapa pekerja seni lepasan dan pas-pasan (bukan seniman laris peliharaan kolektor dan langganan pemilik galeri), untuk hidup dan menghidupi keluarga saja susah, apalagi “berkarya” yang membutuhkan dana lumayan. Keterlibatan dalam Seni Bandung menurut mereka bisa jadi peluang untuk mengkritik langsung tepat di hidung dan halaman rumah pemerintah. Dapat perhatian massa lagi! ini tawaran yang menggiurkan meskipun harus hati-hati karena rentan terjebak dalam kompromi berkelanjutan. Pekerja seni ujung-ujungnya selalu tercerabut dari otonominya dan mengalami kebergantungan, baik secara ideologis maupun ekonomi (!).

Kasus ini memaksa kita untuk melihat lebih jernih kenyataan, atau tepatnya bagaimana kapitalisme telah berkembang dan bekerja sekarang. Bagaimana ketimpangan dan kritik sosial, serta ide-ide alternatif semacam “estetika partisipatori” justru menjadi konten iklan dan pemasaran brand yang bagus, sehingga berbalik arah dan berkontradiksi dari “tujuan awal” gagasan tersebut muncul. Saya sendiri sedang tidak ingin menyuarakan jargon-jargon normatif ataupun moralis untuk saat ini, karena alternatif terhadap kapitalisme, selain tidak datang dari rezim penguasa, juga tidak datang dari nostalgia dan jargonisme (apalagi dalam situasi “the rebel sell” seperti sekarang).

Halah, cuma ngomong doang, solusinya mana? Solusinya kita harus diskusi panjang di lain kesempatan dan saya harus kembali ke mode kerja cari uang lagi sekarang (di sebuah institusi seni #ohtheirony). Saya dan beberapa kawan sedang bikin rangkaian pameran, polemik dan diskusi, salah satunya soal ini, di “Estetika yang Diawasi” tanggal 12 Agustus-2 September nanti. Diselenggarakan oleh Sanggare, koperasi beranggotakan (sedikit) prekariat seni yang sedang utak-atik jalan (dan belajar manajemen + akuntansi) untuk menuju kemandirian yang dicita-citakan. Silakan datang kalau berkenan #ujungujungnyapromosi #therebelsellbangetyha #estetikapartisipatori(?)


****

*Tulisan ini dicopy dari blog nya (https://giovannidessy.wordpress.com/2017/08/10/menyoal-seni-bandung-yang-katanya-partisipatori/) atas ijin penulisnya

PEMBEBASAN Bandung

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar