Ibu-ibu korban penggusuran PT KAI Daop II Bandung berunjuk rasa di depan kantor PT KAI Daop II, Jl. Stasiun Barat, Bandung, Rabu (26/07) siang. Sumber foto: Istimewa. |
[WTS]
PembebasanBandung, 28/07/2017--Nenek Marni, 65 tahun, sehari-hari
menjual kopi dan gorengan. Warungnya yang berada kurang lebih 50 meter dari
kantor Daop II PT KAI, Jl Stasiun Barat, Kecamatan Andir, Kota Bandung, harus
rata dengan tanah akibat digusur PT KAI. Tanpa pemberitahuan, penggusuran
dipaksakan tepat pada Selasa (26/07/2016), jam sembilan pagi. Rumah-rumah dan
kios dagang milik warga Jl Stasiun Barat runtuh.
Ribuan aparat gabungan yang terdiri dari Polsuska, TNI, polisi,
dan Satpol PP, bersama dua buah ekskavator, menggusur kios dagang Nenek Marni
serta rumah dan kios 63 kepala keluarga lainnya.
“Saat itu saya sedang menggoreng. Ribuan polisi datang bersama Polsuska
dan Satpol PP. Saat itu, Pol PP-nya sedikit, yang banyak polisinya. Brimob di
sebelah timur menggunakan motor trail, sebelah barat membawa anjing
pelacak,” ujar Nenek Marni sambil menghembuskan rokok yang baru dihisapnya.
“Di kursi ini,” kata Nenek Marni, menunjuk kursi panjang yang
didudukinya, “nenek tidur selama dua minggu karena nenek udah gak tau mau
tidur di mana lagi.”
Setelah penggusuran itu, Pemerintah Kota Bandung memberi bantuan
berupa tempat tinggal di sebuah rumah susun (rusun) sewa yang terletak di
Rancacili, bagian timur Kota Bandung. Namun, Nenek Marni bersama 24 warga
lainnya menolak bantuan tersebut. Sebab bantuan rusun yang diberikan kepada
warga korban penggusuran itu tidak serta-merta gratis. Warga harus dibebani
biaya sewa sebesar Rp 125.000,-.
Selain itu, lokasi rusun Rancacili terletak sangat jauh dari
akses-akses produksi yang memungkinkan warga untuk bisa mencari nafkah.
Alasan-alasan itulah yang membuat Nenek Marni dan sebagian warga lainnya memilih
untuk tetap bertahan di Kebon Jeruk. “Kalau saya pindah ke rusun, saya mau
bayar pake apa?” tanya Nenek Marni.
Warga yang bertahan memilih untuk mendirikan posko di sekitar area
penggusuran. Oleh warga, posko ini dinamai Posko Juang Rakyat Kebon Jeruk. Di
posko inilah warga Kebon Jeruk bertahan dan melangsungkan hidup sehari-hari:
berjualan, tidur, dan beraktivitas.
“Posko ini adalah simbol perlawanan kami,” ujar Rosyid Nuryadin,
Ketua Komite Rakyat Kebon Jeruk.
Kapitalisme
dan Penggusuran
David Harvey dalam studinya tentang sejarah perkotaan mengatakan
bahwa sudah sejak zaman dahulu kota muncul melalui konsentrasi geografis dan
sosial dari suatu surplus produksi. Hal ini terjadi sebagai corak produksi
ekonomi kapitalisme yang secara inheren mengandung krisis dalam dirinya. Krisis
yang paling umum adalah krisis overakumulasi.
Overakumulasi adalah terjadinya surplus uang, barang, dan tenaga
kerja. Tetapi tidak terdapat cara untuk meraup keuntungan dari surplus
tersebut. Pada titik inilah pembangunan kota menjadi sarana kelas kapitalis
untuk menyerap overakumulasi tersebut; dengan cara ekspansi geografis.
Kota dijadikan ladang investasi dengan berbagai cara. Baik dengan
investasi jangka panjang, seperti pembangunan fisik, ataupun pembukaan pasar baru.
Dan dampak dari hal ini adalah penyingkiran rakyat miskin secara sistematis dan
terstruktur, karena rakyat miskin tidak masuk ke dalam hitungan.
Hal ini juga dipertegas oleh Direktur Walhi Jawa Barat Dadan
Ramdan, dalam diskusi bertajuk “Tata Ruang Bandung Ugal-Ugalan”, yang diadakan
oleh Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi (SORAK), di Posko Juang Rakyat Kebon
Jeruk, Sabtu (6/11/2016). Dalam diskusi tersebut, Dadan mengungkapkan,
penggusuran-penggusuran yang terjadi saat ini telah menunjukkan bahwa arah
ekonomi politik rezim saat ini sama sekali tidak berpihak kepada Rakyat. Dan
program yang dicanangkan oleh pemerintah, seperti program City without
Slums, merupakan program yang manipulatif yang berdiri atas nama
penataan dan perbaikan kota.
Di Kota Bandung, rakyat Kebon Jeruk dan Kebon Waru digusur tanpa
surat pemberitahuan dan kepastian ganti rugi. “Program City without
Slums bukanlah agenda pemerintah untuk menyejahterakan rakyat. Tujuan
utamanya adalah untuk membangun properti bisnis; membangun hotel, apartemen,
dan lain-lain, yang sarat dengan korupsi-kolusi-nepotisme (KKN). Program
tersebut dijalankan untuk kepentingan investor,” ucap Bung Ram, sapaan akrab
Dadan
Ramdan.
Perjuangan
Rakyat Kebon Jeruk
Posko Juang Komite Rakyat Kebon Jeruk adalah simbol perlawanan
rakyat Kebon Jeruk. Di posko inilah rakyat Kebon Jeruk mengkonsolidasikan
dirinya, merencanakan apa yang harus dilakukan setelah rumah mereka dirobohkan.
Di posko berukuran 6 x 5 meter ini pula, Nenek Marni tetap berusaha berjualan
kopi dan gorengan.
Selain mendirikan posko, warga juga melakukan pemanfaatan lahan
untuk pertanian. Di lahan itu warga menanam berbagai macam jenis sayuran. Mulai
dari kangkung, jagung, hingga kemangi.
“Abah tanam aja lahan bekas gusuran ini. Kan,
lumayan hasilnya bisa dimakan bareng sama anak-anak mahasiswa,” ujar Bah Maman,
salah satu “petani baru” di Kebon Jeruk.
Tidak hanya reclaiming lahan. Rakyat Kebon jeruk
juga menempuh perjuangan melalui gugatan hukum (litigasi). Warga Kebon
Jeruk RT 01, RW 02, menggugat PT KAI (Persero) dan Pemkot Bandung dengan
nomor perkara: 380/PDT.G/2016/PN. BDG.
Di setiap persidangan yang dijalani, warga Kebon Jeruk selalu
hadir dengan membawa poster-poster tuntutan. Misalnya, “Bandung bukan Kota
HAM”, “Mengawal Keadilan”, “Jangan Gusur Tanah Rakyat”, dan lain
semacamnya. Lagu-lagu perjuangan pun selalu didendangkan setiap kali
warga mulai memasuki ruang persidangan.
Dalam persidangan, warga Kebon Jeruk tidak terhindar dari intimidasi.
Pada persidangan ke-9, Rabu (04/01) siang, warga Kebon Jeruk harus berhadapan
dengan ormas yang disewa oleh Pemkot Bandung. Ormas tersebut mengenakan seragam
bertuliskan “SATGASUS”, berlogo Baladhika Karya. Ormas bentukan SOKSI yang
didirikan oleh tentara tersebut berdiri di belakang ruang sidang pengadilan
selama persidangan dimulai hingga akhir persidangan.
Kemenangan
Rakyat Kebon Jeruk
Genap sepuluh bulan, warga Kebon Jeruk berjuang. Berbagai macam
perjuangan telah dilakukan. Mulai dari aksi massa, reclaiming lahan,
hingga gugatan pengadilan. Pada Rabu (31/05) siang, hakim membacakan putusan
sidang.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Klas 1-A Bandung, nomor:
380/PDT.G/ 2016/ PN.BDO, PT KAI terbukti melakukan perbuatan melawan hukum
dengan menggusur rumah-rumah dan kios warga Kebon Jeruk. Karenanya, PT KAI
dihukum dengan mengganti kerugian sebesar Rp15.000.000,- untuk 1 orang
penggugat. Dengan total penggugat sebanyak 25 orang, maka pihak PT KAI harus
membayar ganti rugi sebesar Rp 375.000.000,-. Selain itu, dalam amar
putusannya, majelis hukum juga menyatakan bahwa PT KAI tidak mampu untuk
menunjukkan bukti kepemilikan lahan.
Maka dari itu, lahan penggusuran tersebut kembali berada dalam
penguasaan warga. “Inilah adalah kemenangan rakyat. Aku selalu yakin, bahwa
fitrah rakyat berjuang adalah menang,” ujar Irfan Pradana, aktivis Pembebasan
Kolektif Kota Bandung, sesaat usai pembacaan putusan.
Ancaman
Menggusur dan Intimidasi
Setelah dinyatakan menang di pengadilan, bukan berarti perjuangan
warga Kebon Jeruk berakhir. Kemenangan warga Kebon Jeruk di pengadilan
merupakan tonggak perjuangan warga Kebon Jeruk untuk membuat tatanan sosial
baru. Seperti yang telah direncanakan oleh Komite Rakyat Kebon Jeruk bersama
dengan Pembebasan Kolektif Kota Bandung dan Komune Rakapare, bahwa lahan bekas
penggusuran akan dibangun untuk kepentingan bersama.
Dalam perencanaan yang telah dibuat, warga Kebon Jeruk akan
memosisikan area perdagangan dan parkir di bagian depan lahan, menghadap ke Jl
Stasiun Barat. Bagian tengah akan menjadi sarana umum seperti wadah edukasi dan
bermain bagi anak-anak. Juga akan didirikan koperasi untuk mengembangkan roda
perekonomian serta posko musyawarah Komite Rakyat Kebon Jeruk.
Kemudian, bagian belakang lahan akan diposisikan sebagai area
pemukiman untuk tempat tinggal warga. Bagian pinggiran lahan itu akan
dikelilingi area berkebun. Selain itu, mereka juga berencana akan mengalihkan
pekerja seks komersial (PSK) yang biasanya mangkal di Stasiun
Barat menjadi pegawai warung nasi. Tujuannya, agar para PSK memiliki pekerjaan
yang layak. Pengelolaan lahan tersebut dilakukan secara kolektif dan adil.
Saat warga Kebon Jeruk baru akan mulai membangun, Selasa (11/07),
beberapa pihak PT KAI tiba-tiba saja datang mengantarkan surat peringatan
ke-1 yang berisi ancaman akan menggusur kembali. Dalam suratnya tertulis, bahwa
warga Kebon Jeruk harus segera mengosongkan bangunannya paling lambat tanggal
19 Juli 2017.
Surat itu dijawab oleh Komite Rakyat Kebon Jeruk dengan menggelar
aksi di depan kantor Daop II, Rabu (19/07) siang. Dalam aksi kali ini, Komite
Rakyat Kebon Jeruk tidaklah sendirian. Berbagai macam komunitas hadir
bersolidaritas untuk warga Kebon Jeruk.
Namun tiga hari pasca aksi, surat peringatan ke-2 ancaman
menggusur, kembali dilayangkan oleh PT KAI. Pihak PT KAI mengirim surat
itu dikawal oleh 3 orang Polsuska yang petentang-petenteng di hadapan warga
Kebon Jeruk.
Tindakan PT KAI yang hendak kembali menggusur adalah tindakan
kejahatan. Asri Vidya Dewi, pengacara warga Kebon Jeruk, mengungkapkan, apa
yang dilakukan PT KAI jelas merupakan tindakan melanggar hukum, baik
pidana (170 KUHP) maupun perdata (195-224 HIR/ 206-258 Rbg).
Perlawanan
Terus Digelorakan
Solidaritas untuk perjuangan rakyat Kebon Jeruk terus berlipat
ganda. Komite Rakyat Kebon Jeruk tidak berjuang sendirian. Berbagai macam
komunitas hadir untuk bersolidaritas terhadap perjuangan rakyat Kebon Jeruk.
Pasca adanya surat peringatan ke-2 dan intimidasi dari Polsuska,
ratusan massa aksi kembali menggelar aksi di depan kantor Daop II Bandung, Rabu
(26/07) siang. Aksi ini adalah respons terhadap surat peringatan ke-2 yang
dilayangkan oleh PT KAI sekaligus memperingati satu tahun peristiwa penggusuran
yang menimpa rakyat Kebon Jeruk. Bentrokkan antara massa aksi dan polisi pun
tidak dapat dihindarkan. Pagar rubuh dan salah satu massa aksi harus mengalami
pecah bibir.
Dalam aksi kali ini warga menuntut agar pihak PT KAI tidak
melakukan intimidasi terhadap warga Kebon Jeruk dan agar PT KAI tidak
mengeluarkan surat ancaman akan menggusur kembali. Saridal, Kepala Daop II
Bandung, dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas surat peringatan
tersebut.
Berulang kali massa aksi meminta Saridal untuk keluar menemui
massa aksi dan menandatangani surat tuntutan warga. Namun ia tidak juga mau
menemui massa aksi. “Tindakan yang dilakukan oleh PT KAI adalah tindakan
malhukum. Di pengadilan PT KAI telah dinyatakan bersalah. Dan kami meminta Syaharidal
selaku ketua Daop 2 untuk keluar!” seru salah satu massa aksi dalam orasinya.
Selain menggeruduk kantor Daop II Bandung, massa aksi juga
menggelar panggung Rakyat dan lapak buku baca gratis dari komunitas Literaksi.
Aksi juga diramaikan dengan penampilan teatrikal dari solidaritas mahasiswa
ISBI.
“Kebon Jeruk tak boleh lagi kesepian berjuang melawan PT KAI.
Solidaritas yang berlipat, harus terus bergulir-bertambah, hingga PT KAI tahu
bahwa perlawanan rakyat tidak main-main. Di saat modal terdesak dan berupaya
keras memperpanjang penindasan rakyat, di sanalah massa akan semakin mudah
melihat kontradiksinya. Keberadaan itu menyeruak antara mana subjek dan objek
dalam kapitalisme itu. Hidup persatuan rakyat!” seru Nofal, mahasiswa ISBI,
dalam orasinya di “panggung rakyat dadakan”, yang berada di atas monumen kereta
api, Jl Stasiun Barat, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar