Dr. Asvi Warman Adam dalam pengadilan Rakyat di Den Hag, Belanda (IPT65) |
Bandung, 1 April 2017—Lebih
dari seratus orang memenuhi ruang 2210 Fakultas Hukum Universitas Parahyangan
(Unpar), Bandung, Jumat (31/03) siang kemarin. Mereka tengah
berpartisipasi dalam diskusi “Temuan Terkini di Jawa Barat; Kamp Kerja Paksa
dan Dugaan Kuburan Massal” yang dimoderatori oleh Adi Marsiela, Ketua Aliansi
Jurnalis Independen Bandung. Dalam
diskusi tersebut hadir dua pembicara utama. Di antaranya ialah penulis buku Rosidi Tosca Santoso dan Redaktur Pelaksana
Jurnal Prisma Harry Wibowo. Hadir juga Ketua Yayasan
Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo Untung dan Wakil Ketua
YPKP 65 Asep.
Buku Rosidi menceritakan kisah seorang petani
bernama Rosidi yang memiliki 10 anak dan 28 cucu, yang ditangkap oleh tentara
karena pamannya merupakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Rosidi
sendiri bukanlah anggota PKI melainkan anggota Sarbupri (Sarekat Buruh
Perkebunan Republik Indonesia) Cianjur bagian selatan. Buku ini ditulis dengan
menggunakan pendekatan jurnalistik.
“Rosidi memang bukan tokoh
politik atau tokoh besar, tapi saya menganggap kisah hidupnya layak untuk
dituliskan,” kata Tosca.
Rosidi, ungkap Tosca, adalah
seorang petani kecil di desa Sarongge, kaki gunung gede. Rosidi bersama sekira
1500 lainnya yang ditangkap oleh rezim yang sedang mencoba berkuasa pada waktu
itu dibawa ke bekas pabrik kapas di daerah Cianjur. Pada tahun 1965 hingga
1974, karena jumlah tahanan yang banyak, mereka dipekerjakan secara paksa oleh
tentara di satu tempat bernama Kamp Panembong.
”Model kerja paksa itu caranya
juga berkembang. Waktu cari kodok, itu mereka bisa jual sendiri. Nanti kalau
sudah pulang baru dibagi hasilnya. Sebagian untuk tahanan, sebagian untuk
pengelola kamp,” kata Tosca.
Sebelum sesi pembicara kedua,
Bedjo Untung dan Asep yang merupakan penyintas peristiwa Genosida 1965
menceritakan pengalamannya.
“Belum lama ini kami menemukan
di daerah Sukabumi tepatnya di daerah Cipetir, Cikidang, di Parung kuda, saya
melihat sendiri di sana ketika itu teman-teman disekap di sebuah kebun karet,”
kata Bedjo. “Mereka sebelum dieksekusi sebanyak 300 orang itu, dipaksa untuk
mencabuti rumput, untuk menderes karet, sebelum mereka diceburkan di jurang
dekat situ. Dan tempat itu sekarang akan dijadikan tempat wisata,” lanjutnya.
Selain itu, Bedjo
mengungkapkan bahwa kuburan massal juga ditemukan di daerah Bandung. Tepatnya
di Gunung Tilu Ciwidey. Kamp konsentrasi juga ada di Tangerang, daerah Cikokol
yang waktu itu dinamai Subrehab Salemba. “Karena ada usaha melarikan diri, orang-orang
di situ tidak diberi makan dan setiap hari ada setidaknya 2-3 orang yang
meninggal,” kata Bedjo
Asep yang menjadi korban di
daerah Sukabumi dipekerjakan secara paksa sejak tahun 1965. Ia dipaksa bekerja
oleh tentara tanpa upah dan hanya diberi makan. Ia mengaku, ketika sedang
sakit, maka akan disebut sebagai orang malas dan harus menjalani hukuman jemur.
Harry Wibowo mengungkapkan
bahwa ternyata setelah International People’s Tribunal ‘65 di Den Haag Belanda,
bukti-bukti baru muncul, dan data-data kuburan massal terus mengalir.
Terkait hal itu Harry
menganggap bahwa “Komnas HAM harus melakukan satu penyelidikan baru atau
penyelidikan lanjutan.”
Pada 2 Mei,
organisasi-organisasi dan individu membuat petisi untuk mendorong Komnas HAM
agar melakukan proteksi atas kuburan massal.
“Kami telah sampaikan itu.
Tetapi ujungnya Komnas HAM tidak bersedia melakukan dua hal. Satu, melakukan
penyelidikan lanjutan. Kedua, melakukan proteksi atas kuburan massal,” kata
Harry. Padahal, proteksi kuburan massal itu penting karena menyangkut
kesaksian-kesaksian dan fakta-fakta baru yang belum pernah diselidiki.
“Komisi Nasional Hak Asasi Manusia punya kewenangan di bawah
Undang-undang 26 untuk melakukan penyelidikan lanjutan,” pungkas Harry. (Nadya Larasati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar