Belajar Percaya pada RAKYAT; Mendengarkan Mereka

Kematian Socrates, lukisan karya pelukis Jacques-Louis David (1787). Sumber gambar: Wikipedia

Dalam buku-buku yang berkisah tentang Socrates, selalu dikatakan bahwa Socrates menyebut dirinya sebagai seorang bidan (atau berprofesi seperti bidan). Apa yang dia kerjakan yaitu berbincang dengan orang-orang dari berbagi lapisan. Tujuannya tak lain adalah hanya untuk memunculkan kebenaran universal, mengeksplisitkannya dari massa Rakyat. Dengan begitu ia ingin membuktikan bahwa kebenaran universal itu ada, logis dan masuk akal, bahkan tersebar di massa Rakyat dari kalangan bawah sekalipun.

Socrates pergi ke pasar-pasar, tempat setiap orang dari berbagai macam kalangan berada. Layaknya bidan—dengan cara berbincang-bincang—ia membantu orang-orang melahirkan kebenaran universal. Satu orang, dua orang, semua orang yang ia temui, melalui perbincangan yang sabar dan penuh perhatian dari Socrates, akhirnya melahirkan kebenaran universal itu. Sebelumnya, Socrates percaya bahwasanya kebenaran universal itu ada. Tunggu dulu dia bukan hendak menyangkal kebenaran-kebenaran yang relasional (relatif). Namun ia hendak mengatakan pada masyarakat (terutama penguasa), “Jangan berbuat sekehendak hati dengan alasan relativisme kebenaran.”


Di kemudian hari, Plato sebagai penutur cerita tentang Socrates, memunculkan istilah doxaDoxa ialah pendapat-pendapat yang dipercaya sebagai kebenaran yang tak terbantahkan padahal sebuah kekeliruan. Persis di tempat itulah kaum Sofis berdiri. Mereka mengutarakan apa yang ingin didengar penguasa, kemudian mereka menghipnotis publik dengan retorikanya, agar publik percaya. Dengan retorikanya itu kaum Sofis mendapatkan uang. Tapi tidak, Socrates tidak mau berdiri di posisi kaum Sofis berdiri. Akhir cerita, Socrates mati menenggak racun, seperti Galileo beberapa abad sesudahnya yang mengutarakan pandangan berbeda dari pandangan resmi (umum). Pandangan Galileo berdasarkan hasil penyelidikan dan ilmu pengetahuan, lalu ia pun dihukum mati.

Dibuat-buatlah alasan agar Socrates layak dihukum, di antaranya, Socrates dituduh merusak moral masyarakat, dengan menghasut masyarakat (terutama kaum muda) untuk mempertanyakan nilai-nilai mapan di masyarakat saat itu. Socrates dianggap berbahaya, akhirnya ia dihukum, mati menenggak racun. Sederhana saja sebetulnya, Socrates ingin tidak bersepakat dengan kebenaran yang diproduksi penguasa. Ia ingin percaya pada kebenaran universal yang tersebar di massa Rakyat. Dalam cerita, sebenarnya Socrates bisa saja kabur, tapi dia memilih mati demi kebenaran universal.


Seandainya sosok macam Socrates hidup di abad ini, apa yang akan dia lakukan? Beruntung aku pernah memahami psikoanalisis. Dulu, ilmu ini aku pakai untuk memahami diriku. Dari sini aku tahu, mimpi buruk yang selalu menghantuiku adalah ketakutan-ketakutan yang mengendap di alam bawah sadarku. Cara mengatasinya dengan mengangkat ketakutan-ketakutan itu ke alam sadar, kemudian merasionalkan ketakutan itu. Sehingga pahamlah aku bahwa ketakutan-ketakutan itu adalah hal yang tak perlu.

Dari mana datangnya ketakutan itu? Jawabannya, dari masa lalu. Ia mengendap di alam bawah sadar setelah kita mengalami peristiwa-peristiwa yang mengesankan (ketakutan, kesedihan, dan lain sebagainya) tetapi kemudian dilupakan. Istilah penyakit yang tak perlu ini dalam ilmu psikoanalisa disebut “trauma”.


Trauma adalah hambatan dalam kehidupan mental kita. Ia adalah dinding besar dalam diri kita yang membuat kita tidak bisa mengeksplisitkan potensi-potensi dalam diri kita. Maka trauma mesti diatasi, agar potensi potensi dalam diri kita bisa aktual, lahir ke dunia ini dan mental kita menjadi sehat. Sayangnya aku tidak akan membicarakan trauma individual secara mendetail di sini. Freud telah membicarakan hal itu dalam bukunya, A General Intodruction to Psychoanalysis, dan atau dalam dua artikelnya yang berjudul Zur Geschite der psychoanalytischen Bewegung serta Die Frage der Laienanalyse”. Silakan dibaca, edisi bahasa Indonesianya sudah banyak. He he.

Ialah Freud yang membicarakan trauma dalam bingkai ilmu psikoanalisis secara serius dan ilmiah. Namun pada masa ia hidup, ilmu ini dicibir, diserang habis habisan, serta dituduh tak ilmiah. Meski begitu, ilmu ini terus dikembangkan oleh pengikutnya, Erich Fromm, Lacan, G. Deuleuz, dan terbukti mampu menjelaskan sejumlah gejala yang ada. Karenanya, tak heran jika ilmu ini masih dipelajari hingga sekarang, dan bertahan serta dianggap bermanfaat. Pun olehku.

Ilmu ini mulai kupakai untuk memahami massa Rakyat di kampungku yang kehidupan demokrasinya belum maju, yang kini tengah berkontradiksi dengan perusahaan properti. Aku harus menerima kenyataan bahwa massa Rakyat di kampungku masih begitu takut terhadap apa yang mereka sebut “aparat” dan “orang bertitel” atau “orang berpangkat”.  Aparat, merujuk pada anggota militer aktif, dan pihak kepolisian. Sedangkan “orang bertitel” atau “orang berpangkat” merujuk pada mereka yang dikenal memiliki gelar misalnya “haji”, “sarjana”, dan orang-orang berpangkat di pemerintahan. Istilah-istilah ini hidup di bibir mereka, di keseharian mereka, dan selalu diceritakan untuk menunjukkan betapa mereka inferior di hadapan aparat, orang bertitel, orang berpangkat.

Tentu saja, dalam konteks perjuangan demokratisasi di kampungku, hal semacam ini adalah masalah besar. Hambatan mental macam ini berpengaruh pada proses massa Rakyat di kampungku merebut hak-haknya.

Ada cerita menarik sekaligus lucu. Suatu ketika, pengembang secara dadakan mengundang Mang Didi dan Kang Ode ke kantornya. Sebelumnya telah disepakati jika ada undangan-undangan macam itu, apalagi mesti datang ke kantornya, adalah hal yang keliru. Harus ditolak bagaimanapun caranya. Pengalaman mengatakan lobi-lobi di kantor pengembang selalu memundurkan capaian-capaian yang telah disepakati warga. Apalagi telah disepakati pula pertemuan dengan pengembang akan dilakukan di kantor desa, dihadiri oleh ketua-ketua RW lain, yang terdampak secara langsung maupun tidak oleh pembangunan, dua hari sebelumnya. Karena panik, Mang Didi menghubungi sejumlah Ketua RW untuk juga hadir. Hadirlah mereka semua di kantor pengembang. Hasilnya bisa ditebak, warga terhipnotis, secara tidak sadar menuruti apa maunya pengembang.

Waktu itu aku sedang berada di luar kampung. Mendengar kejadian itu, terang saja aku marah. Aku marah sebentar, selebihnya mendengarkan. Karena mendengarkan merupakan cara satu-satunya untuk memahami mereka. Aku mendengarkan mereka, ada yang bercerita bahwasanya Haji Toton (nama samaran) itu berkarisma. Dia menggunakan dukun pada saat berhadapan dengan warga. Buktinya di kantor pengembang warga tak bisa apa-apa, tidak bisa berkata apa-apa. Bahkan ada yang bengong menatapnya dan mengalami amnesia sejenak. Begitu salah satu penuturan warga yang disampaikan padaku. Kemudian warga yang lainnya lagi menuturkan bahwasanya Haji Toton adalah orang pintar dan cerdas, jika berbicara selalu disisipi istilah-istilah Inggris, misalnya, “misscommunication,” dan lain sebagainya.

Apa yang diperbuat Haji Toton kepada warga, boleh jadi menurut kita yang rasional, adalah hal yang biasa saja. Namun bagi warga, nyatanya Haji Toton adalah orang besar. Kita sepakat, bayangan warga tentang Haji Tonton berdiri di atas landasan yang tidak masuk akal atau irasional.

Pemahaman-pemahaman macam itu, tentang glorifikasi terhadap sosok Haji Toton, landasannya adalah ketakutan-ketakutan serta rasa inferior yang mengendap di alam bawah sadar warga. Di situlah letak irasionalnya. Sehingga membuahkan sikap macam tersebut di atas. Gejala-gejalanya bisa dilihat dari adanya warga yang amnesia sesaat ketika berhadapan dengan Haji Toton. Hal ini disebut juga histeria. Jelas, ini adalah hambatan-hambatan mental dalam diri warga yang mesti diatasi. Bagaimana mengatasinya? Yaitu merasionalkan pemahaman warga, dengan cara menyodorkan antitesa-antitesa dari tesis-tesis yang dipercaya warga, bahwa apa yang dipercaya warga adalah hal yang irasional bersumber dari rasa takut dan inferior.


Tesis tentang dukun dan tentang pintarnya Haji Toton. Menurut penuturan warga, saat di kantor pengembang, warga tidak bisa berbicara apa-apa saat Haji Toton mulai bicara panjang lebar, dan ia selalu memotong saat warga baru sedikit berbicara. Kemudian keluarlah kata-kata asing dari mulut Haji Toton yang tidak dikenal warga di sela-sela ia berbicara. 

Mendengar penuturan warga tentang bagaimana Haji Toton beraksi  di hadapan dengan warga, aku sampaikan kepada warga, bahwasanya apa yang dilakukan Haji Toton adalah hal yang biasa saja, untuk menguasai forum. Cara menangkalnya, pertama, warga jangan mau dipotong saat sedang berbicara. Kedua jangan terbawa logika yang disodorkan pengembang, tetap fokus pada tujuan yang telah disepakati untuk disuarakan. Ketiga, jangan tertipu dengan bualan-bualan sok pintar Haji Toton, utarakan saja apa yang dirasakan warga akibat ulah Haji Toton. Dan yang selanjutnya, aku sampaikan bahwa pemilihan tempat negosiasi, kantor pengembang, jelas membuat warga secara mental berada di bawah tekanan. Maka tesis tentang dukun dan maha pintarnya Haji Toton batal. 


Apa yang dilakukan Haji Toton bisa dipelajari dan dicarikan bagaimana menangkalnya. Intinya, berani dan jangan takut. Kenapa kita harus takut, jika ketakutan itu tidaklah perlu dalam konteks ini?


Poinnya adalah menunjukkan bahwa apa yang dipercaya warga tidaklah rasional, betapa pun Haji Toton itu bertitel dan berpangkat. Kemudian tentang ketakutan warga pada aparat, juga sama irasionalnya dengan kepercayaan warga pada glorifikasi sosok Haji Toton. Tapi untuk menunjukkan bahwa itu tidak rasional, harus dilakukan dialog yang dialektis. Misalnya, ditunjukkan kontradiksi-kontradiksi anggota militer dalam konteks permasalahan ini, agar kebenaran dapat dieksplisitkan dari diri warga itu sendiri.

Saat Mang Didi didatangi tiga orang intel selepas ia dan warga lainnya menghadang penambahan alat berat untuk pembangunan perumahan, intel itu berkata pada Mang Didi agar jangan mengganggu proses pembangunan dengan menghasut warga menolak penambahan alat berat. Hal ini menyebabkan dia ketakutan, bahkan untuk beberapa waktu dia sempat jatuh moralnya. Mendengar cerita itu, kuberi tahu pada warga bahwa apa yang dilakukan intel militer ini adalah intimidasi, apalagi sampai menyebut Mang Didi penghasut. Dan itu kesalahan besar, dan juga itu artinya aparat (militer) berpihak pada pengembang. Itu juga kesalahan besar. Aku katakan pada warga bahwa militer tidak boleh mencampuri urusan sipil apalagi berpihak pada pengembang, sehingga menyengsarakan Rakyat. Namun fakta berkata lain, itulah kebenarannya. Dari peristiwa ini watak sejati aparat mulai dipahami warga. Kebenaran sedikit demi sedikit lahir dari diri warga itu sendiri.

Tapi warga perlu waktu untuk sampai pada pemahaman-pemahaman yang maju tentang watak bawaan aparat dan pemodal. Keberanian mereka perlu dilatih terus menerus. Proses pengorganisasian warga melawan pengembang ini saja sudah berlangsung selama kurang lebih 6 bulan. Karena ketakutan-ketakutan dan inferiority pada aparat dan pengembang, yang bertitel haji serta sarjana itu, adalah ketakutan kolektif yang terus-menerus diinternalisasi lewat sistem atau tatanan ekonomi-politik, bahkan sebelum persoalan ini ada, diinternalisasi dari masa ke masa lewat pendidikan dan kebudayaan juga (terutama di masa Orde Baru). Watak bawaan pemodal berkolaborasi dengan negara beserta aparatnya, itu kebenarannya. Namun jangan ragukan kapasitas massa Rakyat untuk bisa mengakses kebenaran ini.

Iya betul, mesti ada yang bersedia mendengarkan warga, untuk kemudian membantu mereka mengatasi ketakutan-ketakutannya. Agar warga bisa mengeksplisitkan kebenaran yang tersebut di atas, yang juga adalah kebenaran yang lahir dari kontradiksi-kontradiksi internal warga saat menghadapi pengembang. Untuk itu, jika harga yang harus dibayar adalah nyawa, siapa yang bersedia jadi Socrates?

Padalarang, 6 Maret 2017

Yoga Zara


PEMBEBASAN Bandung

Mari Berteman:

1 komentar: