Aksi AMPL menolak pelarangan buku oleh Warek di Tel-U, Senin 15 November 2016. Dok. PEMBEBASANBDG |
Salam Literasi!
Membaca, juga menulis adalah kerja
literasi yang sekaligus menjadi syarat utama dalam membangun peradaban. Membaca
dan menulis merupakan kerja-kerja awal yang mesti dilakukan untuk menjadikan
manusia makhluk yang mulia. Tak akan pernah maju peradaban tanpa dibahanbakari
oleh semangat membaca dan menulis yang tinggi.
Buku sebagai media untuk membaca dan
menulis tak terelakkan lagi adalah penting dalam membangun peradaban manusia
yang maju. Tanpanya, manusia tetap bisa hidup. Tapi hidup manusia yang seperti
itu, tak membaca dan menulis buku, tak akan berdampak apa-apa—bagi dirinya
sendiri dan orang lain.
Di Indonesia, budaya membaca masih
sangat rendah. Hasil survei UNESCO tahun 2012 menunjukkan bahwa dari 1.000,
hanya ada satu orang yang tertarik untuk membaca. Dari pemeringkatan yang
dilakukan oleh Central Connecticut State University, Indonesia menempati
peringkat 60 dari 61 negara. Hanya lebih dari baik daripada Botswana.
Data-data tersebut mesti diterima
sebagai kenyataan yang tak hanya menyedihkan, tapi juga mengerikan.
Dengan kondisi seperti itu, ternyata
yang kemudian terjadi lebih mengerikan lagi. Pemberangusan, pelarangan,
pembubaran berbagai aktivitas literasi terjadi di mana-mana. Bulan Mei lalu,
yang juga menjadi bulan diperingatinya Hari Buku Nasional (18 Mei) justru
terjadi berbagai peristiwa pemberangusan kegiatan literasi dan kebebasan
berekspresi. Di Bandung, terjadi Intimidasi pada pementasan Monolog Tan Malaka,
dan diskusi di kampus ISBI yang diserbu oleh organisasi massa yang reaksioner.
Pada bulan Agustus, terjadi pembubaran paksa lapak Perpustakaan Jalanan Bandung
yang digelar di Taman Cikapayang oleh aparat bersenjata. Tindakan yang
memundurkan peradaban seperti itu telah menuai banyak protes dari masyarakat
dan pegiat literasi.
Tapi kengerian itu ternyata belum
berakhir. Rabu kemarin, tanggal 9 Nopember 2016, terjadi pelarangan terhadap
buku-buku di lapak Perpustakaan Apresiasi yang digelar di selasar Gedung
Manterawu (Gd. Dekanat) oleh pihak kemahasiswaan Universitas (Wakil Rektor IV
Bidang Penelitian dan Kemahasiswaan). Buku tersebut di antaranya adalah Seri
Orang Kiri Indonesia: Musso dan Njoto, dan Manifesto Partai Komunis. Semuanya
adalah buku legal dan dapat didapatkan di toko buku populer.
Tindakan ini amat disayangkan. Sebab,
sebagaimana diamanatkan dalam Pedoman Akademik Universitas Telkom bahwa
kebebasan akademik mestinya tak terbelenggu dan menjadi tanggung jawab
institusi dan setiap individu sivitas akademika yang wajib dilindungi dan difasilitasi
oleh pimpinan Universitas. Tindakan itu juga bertolak belakang dengan semangat
pengembangan budaya akademik Universitas yang “dilakukan melalui interaksi
sosial yang tidak membedakan suku, agama, ras, antargolongan, gender, kedudukan
sosial, tingkat kemampuan ekonomi, dan aliran politik serta madzhab pemikiran.”
Dan, budaya akademik tersebut wajib dipelihara dan dikembangkan oleh seluruh
sivitas akademika dengan cara memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai proses dan
produk, serta sebagai amal dan paradigma moral. Sehingga, persoalan yang
dialami oleh Perpustakaan Apresiasi dapat dilihat sebagai bukan lagi semata
persoalan antara komunitas yang diisi segelintir orang dengan institusi atau
individu yang memiliki wewenang, melainkan adalah masalah bagi seluruh sivitas
akademika Universitas, dan lebih lagi, adalah masalah umat manusia. Sudah
barang tentu kaum terpelajar mesti adil sejak dalam pikiran dan tergerak untuk
mengkritik, protes, atau bahkan marah terhadap pelarangan buku.
Aliansi Mahasiswa Peduli Literasi
menganggap bahwa pembatasan aktivitas literasi, termasuk di antaranya
pemberangusan, pembatasan, pelarangan buku dan pembubaran diskusi sebagai
sebuah gerak mundur yang kontra-produktif terhadap pembangunan budaya yang
maju. Dalam hal ini Universitas sebagai adalah pertahanan terakhir dan—tak
bosan untuk menekankan bahwa—kejadian semacam ini adalah ancaman bagi dunia
pendidikan, juga peradaban.
Maka itu, Aliansi Mahasiswa Peduli
Literasi dibentuk untuk menegur dan mengingatkan semua akan “tanggungjawab
peradaban”-nya dalam mendorong terbukanya akses bahan bacaan seluas-luasnya,
pembukaan ruang demokrasi seluas-luasnya, akses ruang publik dalam kampus,
kebebasan akademik, pengembangan budaya akademik, kebebasan berpikir,
berkumpul, berpendapat dan berekspresi di Universitas.
Kampus tak semestinya menjadi anti literasi, anti diskusi,
anti intelektual, anti kritik dan anti perpustakaan. Institusi pendidikan
adalah penjamin kebebasan kegiatan intelektual.
Yang dilarang adalah menjadi bodoh, bukan membaca buku.
Salam Peradaban, Salam Literasi!
ALIANSI MAHASISWA PEDULI LITERASI (AMPL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar