Battleship Potemkin (1925): Seni dan Propaganda




Mari mundur sejenak ke Uni Soviet ketika mereka baru saja selesai Revolusi Bolshevik pada tahun 1917. Gedung konser musik pada saat itu diambil alih oleh partai komunis dan dijadikan tempat rapat petinggi-petinggi sarikat buruh. Mereka mengatakan bahwa tidak penting itu musik klasik dan segala tetek bengek hasil karya komponis Rusia masa lampau. Itu adalah kebudayaan borjuis yang harus dibersihkan. 

Vladimir Lenin sebagai pemimpin angkat bicara dan mengungkapkan isi pikirannya. Katanya, “Kita tidak punya kebudayaan sekarang. Nol besar. Maka itu kita harus mengambil kebudayaan dari masa lalu. Kita tidak usah merubah karya-karya mereka karena yang kita ubah adalah tujuannya.” Konon, ucapan Lenin tersebut adalah cikal bakal aliran Realisme Sosialis yang terkenal dari Rusia. Bahwa segala karya seni harus punya tujuan, harus punya unsur propaganda demi kebaikan ideologi komunisme itu sendiri. 

Jika kita punya pengetahuan sedikit saja tentang Realisme Sosialis, maka kita bisa langsung menebak kemana arah dari film Battleship Potemkin karya Sergei Eisenstein sejak permulaan. Pertama, film ini membukanya dengan kutipan ucipan Lenin di tahun 1905 tentang keluhuran derajat sebuah revolusi. Kemudian di bagian pertama film yang berjudul Man and The Maggots, diceritakan tentang bagaimana para awak kapal memberontak terhadap para atasannya karena kondisi makanan yang tidak layak. Meski tidak langsung bicara tentang komunisme, tapi sudah jelas bahwa pemberontakan tersebut menyimbolkan revolusi kaum proletar pada kaum borjuis. Kemudian film berdurasi 75 menit tersebut menampilkan kekejaman tentara Tsar lewat adegan yang terkenal di tangga Odessa. Di tangga tersebut, rakyat ditembaki secara membabi buta padahal mereka hanya bersimpati pada kematian awak kapal bernama Vakulinchuk.

Jika kamu menganggap bahwa sebuah karya seni harus dilepaskan dari tujuan-tujuan politik, tentu saja kamu tidak akan menyukai film Battleship Potemkin ini. Film tersebut sungguh terasa ingin mengarahkan penonton agar berpihak pada satu ideologi dan membenci ideologi lainnya. Namun jangan salah, jikapun kamu ingin mendapatkan suatu keindahan, film ini juga sesungguhnya punya hal tersebut. Eisenstein, di jamannya yang sudah barang tentu belum punya berbagai kecanggihan teknologi sinematografi, bisa melakukan montage dan mise en scene (dua teknik film yang paling dasar) dengan sempurna. Saking tingginya teknik dari film ini, ia seringkali disebut-sebut sebagai film terbaik sepanjang sejarah. Suatu pesan bisa kita petik dari warisan besar Eisenstein tersebut: Jika hendak mengarahkan logika, terlebih dahulu perhatikan aspek estetika. Jangan-jangan keindahan sudah merupakan suatu kebenaran yang tidak bisa diganggu-gugat.

Syarif Maulana

PEMBEBASAN Bandung

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar