BAND
![]() |
Dari kiri ke kanan: Dayat, Sastrowardoyo, Rosyid, Yoga, Greg. Foto: oleh Zulfi. |
UNG-Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi
(SORAK) mengadakan diskusi dengan judul “Reforma Agraria Kontra Penggusuran dan
Teori Pembangunan Berdasarkan Kapital”. Diskusi ini membahas mengenai kasus
penggusuran yang telah dilakukan oleh PT KAI terhadap warga RT 02/RW 03
kelurahan Kebon Jeruk, kecamatan Andir. Diskusi dimulai pukul 19.30 di Posko
Djuang Stasiun Barat, pada hari Selasa (13/09/2016). Sebagai pemantik hadir
Dayat dari UKSK UPI, Sastrowardoyo dari warga, Rosyid selaku koordinator warga,
dan Yoga dari PEMBEBASAN.
Diskusi ini digelar oleh SORAK
menimbang betapa pentingnya tukar gagasan dan refleksi mengenai metode metode
juang yang selama ini dilakukan dan perencanaan perencanaan langkah juang
selanjutnya yang akan ditempuh oleh SORAK bersama rakyat korban penggusuran. Di
awal diskusi, salah satu korban penggusuran, Sastrowardoyo, mengatakan, “Selama
ini pemerintah telah abai terhadap hak warga Kebon Jeruk. Ruang hidup kami
telah dirampas demi kepentingan kaum pemodal”. Pernyataan itu diperkuat oleh
Rosyid selaku koordinator warga korban penggusuran, yang rencananya selepas
diskusi ini akan membentuk komite rakyat merespon penggusuran yang akhir akhir
ini marak di kota Bandung, “oleh mereka (PT KAI) bersama antek anteknya yaitu
apparat; TNI, POLRI dan SatPol PP kami diperlakukan layaknya teroris dan lebih
dari itu layaknya binatang. Saat penggusuran terjadi rumah kami dikepung oleh
ratusan, mungkin ribuan aparat bersama alat berat seperti beko dan lainnya.
Kami diserbu, rumah kami diporakporandakan, kami dituduh pemukim liar, teriakan
teriakan tak berprikemanusiaan terlontar dari mulut mereka kepada kami, jam 9
pagi. Bayangkan jam 9 pagi, di mana kita tahu itu adalah jam jam produktif
kita; anak anak sedang di sekolah, ibu ibu sedang sibuk di dapur dan banyak
yang berdagang, begitu pun bapa bapanya”
Salah satu pemateri, Yoga dari
PEMBEBASAN mengatakan bahwasannya kasus penggusuran oleh PT.KAI bukan saja
permasalahan warga Kebon jeruk saja, tapi ini adalah permasalahan kita
semua selaku rakyat vis s vis kaum pemodal. Sebab pemodal di mana-mana sama saja
hanya peduli pada nilai lebih yaitu keuntungan yang bakal didapat olehnya;
menanam modal di mana mana, membangun dan membangun, rakyat disingkirkan secara
sistematik dan tersruktur, yang boleh tinggal di mana pusaran akumulasi modal
berada adalah mereka yang mampu membayar, sedangkan yang tidak mampu membayar/
yang mampu membayar tapi sedikit menyingkirlah ke tempat tempat kumuh yang pada
akhirnya akan disingkirkan lagi, lagi dan lagi. Penyingkiran demi penyingkiran
akan terus terjadi selama pusaran akumulasi modal ada. Rakyat dijadikan sapi
perahan pemodal.
“Sejarah panjang umat manusia telah
mengajari kita bahwasannya peralihan corak produksi masyarakat satu ke
masyarakat lainnya tidaklah baik baik saja, mulus dan tanpa kekerasan, melalui
kasus penggusuran yang telah menimpa warga Kebun Jeruk, hal itu terbukti, kita
sama sama melihat, demi keindahan pembangunan kota serta demi lestarinya
akumulasi modal di satu tempat bernama kota Bandung, rakyat Kebon Jeruk diusir
dari tempat tinggalnya dengan kekerasan fisik maupun verbal.” ujar Yoga,
kemudian.
Masih menurut Yoga, “Jalan perjuangan
yang mesti ditempuh dalam menangani kasus ini pun, tidak boleh hanya
mengandalkan perjuangan litigasi (hukum) semata, mesti dibarengi dengan upaya
upaya politis (non litigasi) seperti aksi massa. Aksi massa yang sebelumnya
pernah dilakukan oleh warga Kebon Jeruk bersama SORAK pada tanggal 29 September
2016 mengajarkan kepada kita arti penting kehadiran rakyat di dalam tatanan
yang korup dan birokrasi negara yang macet. Telah membuahkan hasil. Diantaranya
DPRD kota bandung telah menyepakati tiga tuntutan warga (1) rumah warga akan
dikembalikan dengan cara mendapatkan rusunami yang layak, bukan rusunawa, walau
mesti dicicil pembayarannya; (2) pemulihan kondisi sosial ekonomi warga dalam
bentuk penyediaan kios dan penyediaan modal (awal bulan September ada MoU); dan
(3) pagar yang dipasang PT KAI di Jalan Stasiun Barat akan dibongkar secepatnya
karena illegal.”
Hal tersebut dipertegas oleh audience
diskusi, dengan berteriak, “Ya, kita sangat membutuhkan perjuangan politik
sebagai panglima, juga hukum yang nantinya akan diposisikan seturut agenda
agenda perjuangan politis yang telah disepakati bersama.”
Di akhir diskusi, Sastrowardoyo korban
penggusuran menyampaikan, “Kita tidak bisa hanya diam saja melihat penggusuran
ini. Kita harus berjuang bersama, mengingat pemerintah tidak memberikan apa pun
seperti yang telah diharapkan. Dan saya berharap bersama kawan-kawan semua,
kita bisa mengulang kembali kemenangan yang sebelumnya telah kita dapatkan.”
(Tri S.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar