Fidel Castro dan Gabriel García Márquez. Sumber gambar: lithub.com. |
[Sri Sumarni]*
Nama Fidel Castro banyak dinarasikan sebagai pemimpin Revolusi
Kuba pada tahun 1959. Kala itu ia bersama dengan karibnya, Che Guevara, memimpin
pasukan pemberontak M26J (Movimiento 26 de Julio) bergerilya di belantara hutan
Kuba untuk menggulingkan rezim kapitalis Fulgencio Batista yang dikenal kejam
dan otoriter. Usai berhasil menjatuhkan kekuasaan Batista, perang dan
pemberontakan adalah predikat yang selalu melekat pada sosok Fidel. Namun
nyatanya Fidel mempunyai sisi lain yang tak banyak orang ketahui.
Pada tahun 1977 di sebuah hotel di Kuba, Fidel bertemu dengan
penulis asal Kolombia, Gabriel García Márquez. Itu adalah kali pertama mereka
bertemu. Gabriel García Márquez, atau akrab dipanggil Gabo, adalah seorang
penulis berhaluan kiri yang pernah meraih Nobel Sastra pada tahun 1982. Gabo
mengunjungi Kuba sebagai bentuk dukungannya kepada Kuba yang tengah diembargo
oleh Amerika Serikat (AS).
Gabo saat itu sedang dalam proses penulisan kisah non-fiksi yang
mengangkat kisah kehidupan rakyat Kuba di tengah-tengah embargo AS. Meski
akhirnya kisah tersebut tak pernah terbit, ada kejadian menarik dalam pertemuan
keduanya. Di tengah perbincangan Fidel meminta beberapa naskah Gabo yang belum
terbit. Ia lalu menawarkan diri menjadi editor naskah-naskah tersebut.
Stéphanie Panichelli-Batalla, dosen studi Amerika Latin di Aston
University, mengatakan, "Presiden (Fidel) adalah seorang pembaca setia
karya Gabo. Ketika mereka bertemu pada tahun 1977, mereka memiliki beberapa
percakapan tentang sastra dan akhirnya Fidel menawarkan untuk membaca
manuskripnya, karena ia merasa sebagai orang yang detail. "
Panichelli-Batalla, yang turut menulis sebuah buku tentang
hubungan Fidel dan Gabo pada tahun 2009, mengatakan bahwa Gabo akan mengirimkan
naskah-naskah yang telah selesai ke Havana untuk dikoreksi oleh Fidel sebelum
dikirim ke penerbit.
Koreksi Castro terhadap naskah Gabo berkisar pada gramatikal dan
aktualisasinya. Ia tidak pernah memiliki keinginan untuk menyisipkan
pesan-pesan ideologinya. Panicelli menambahkan, "Setelah The Story
of the Shipwreck Sailor, Fidel mengatakan kepada Gabo bahwa ada kesalahan
dalam perhitungan kecepatan kapal.” Contoh lain dari koreksi yang dia buat di
lain waktu adalah dalam Chronicle of a Death Foretold, ketika
Fidel menunjukkan sebuah kesalahan dalam spesifikasi senapan berburu."
Kedekatan Fidel dan Gabo terungkap dalam sebuah buku di
perpustakaan pribadi García Márquez. Castro menulis sebuah catatan pada tahun
2010 sembari meluangkan waktu kerja membantu korban gempa di Haiti. "Bukumu, Yo
No Vengo a Decir un Discurso menggangguku," dia menjelaskan
temannya. "Saya meninggalkan tugas saya dan mulai membaca. Saya merindukan
ceritamu. "Apa yang terjadi di Haiti mengingatkan saya pada kisahmu, Love
in a Time of Cholera."
Gabo pernah berkata pada majalah Playboy, " Dia
(Fidel) adalah pembaca yang sangat bagus dengan kemampuan konsentrasi yang
menakjubkan—dia juga sangat berhati-hati. Dalam banyak buku yang dibacanya, dia
dapat dengan cepat menemukan kontradiksi dari satu halaman ke halaman lainnya.
... Dia sangat menyukai dunia sastra, dia merasa sangat nyaman di dalamnya, dan
dia senang menulis pidatonya dengan sangat hati-hati, yang semakin sering
terjadi.”
“Suatu ketika,” ujar Gabo di majalah yang sama, “dia pernah
berkata kepada saya: ‘Di kehidupan berikutnya, saya ingin menjadi seorang
penulis.’”
*Sri Sumarni adalah seorang buruh migran progresif di Malaysia.
Bosan dengan game yang tidak jelas? Dan Ingin game yang menarik ? silahkan kunjungi saja web kami di s1288poker terbaik, tercepat, teraman & terpercaya kami disini juga menyediakan berbagai game judi online yang tidak kalah serunya seperti Poker, Domino, Capsa , Ceme, ceme keliling dan live poker serta anda juga akan di temanin oleh CS kami yang ramah dan online 24jam (WA : 08122221680)
BalasHapus