![]() |
Performance Art dari Buli Ju dalam aksi AMP dan FRI-WP, Gedung Merdeka, Bandung, Jum'at (07/04) (Dok: Ancotex) |
Bandung, 9 April 2017—Jalan Asia-Afrika tak seperti biasanya,
kendaraan-kendaraan yang melewati jalanan tersebut terpaksa harus berdesakan.
Puluhan massa aksi yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua
(FRI-WP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite
Kota Bandung melakukan aksi
blokade jalan, Jumat (07/04).
Aksi yang bertajuk “Tutup
Freeport dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua sebagai
Solusi Demokratis” ini merupakan
bentuk respon atas kesepakatan antara PT. Freeport dan Pemerintah Indonesia
pada tanggal 10 Februari kemarin. Dalam kesepakatan itu, masyarakat adat dan Bangsa West Papua
tidak dilibatkan.
Aksi yang dilakukan oleh FRI-WP dan AMP ini bertepatan
dengan 50 tahun penandatanganan Kontrak Karya I Freeport yang ditandatangani Soeharto
pada tahun 1967. Dalam penandatangan kontrak karya tersebut West Papua belum
secara “resmi” menjadi bagian dari wilayah Indonesia,
sesuai dengan New York Agreement tertanggal 15 Agustus 1962—yang dibuat
secara tidak adil. Kesepakatan itu dibuat tanpa melibatkan Rakyat dan Bangsa
West Papua. Padahal, pada 1 Desember 1961, West
Papua telah memproklamasikan kemerdekaannya. Proses dekolonisasi
juga sedang berjalan.
Berdasarkan New
York Agreement, West Papua akan menjadi wilayah resmi Indonesia jika Rakyat
West Papua sendirilah yang memilih untuk begabung dengan Indonesia melalui hak
menentukan nasib sendiri. Penentuan nasib sendiri adalah landasan proses
dekolonisasi. Namun, Indonesia
mengartikan penentuan nasib sendiri sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
yang dilaksanakan pada tahun 1969. Pepera yang dilaksanakan cacat hukum dan tidak demokratis. Dalam
pelaksanaannya hanya 1024 orang, atau 0,4%
dari kurang lebih 800.000 total penduduk Papua, itu pun
di bawah todongan senjata militer.
“Bangsa Indonesia telah melakukan penipuan sejarah.
Integrasi West Papua ke wilayah Indonesia itu cacat. Kita harus jujur. Bangsa
Indonesia telah melakukan penjajahan di atas tanah Bangsa West Papua,” ujar Nanang Kosim selaku humas aksi
Kemudian aksi berlanjut dengan melakukan shortmarch menuju Gedung Merdeka. Selama shortmarch berlangsung, massa aksi terus meneriakkan yel-yel, “Papua bukan Merah Putih,
Papua...Bintang Kejora..Bintang Kejora,” juga diselingi dengan orasi politik
dari koordinator lapangan.
Koordinator lapangan Otis
Adi, mengatakan bahwa keberadaan
PT. Freeport dan Negara Kesatuan Republik Indonesia di tanah West Papua adalah
kesengsaraan untuk Rakyat West Papua. Lebih dari satu juta hektar tanah adat
dirampas. Sejak eksplorasi berjalan lebih dari dua miliar ton limbah dibuang ke
sungai sekitar pertambangan
Freeport. Rakyat dan Bangsa West Papua diberlakukan seperti binatang oleh pemerintah dan aparat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Usir dan tutup Freeport dari tanah West Papua. Berikan hak
menentukan nasib sendiri karena itu adalah solusi demokratis untuk West Papua,”
tandas Otis.
Sesampainya di Gedung Merdeka, massa aksi berbaris kemudian
secara bergantian melakukan orasi politik. Pada tahun 1955, di gedung ini,
Konferensi Asia-Afrika pernah digelar. Tujuan diadakan konferensi tersebut
adalah menggalang persatuan Bangsa-Bangsa di Asia dan Afrika untuk melawan
kolonialisme. Gedung ini adalah simbol kemerdekaan dan perlawanan terhadap
bentuk-bentuk kolonialisme. Kemerdekaan sebagaimana mestinya adalah hak paling
mendasar dari setiap manusia.
Namun tak ada kemerdekaan di tanah West Papua. Sejak tahun
1970-an hingga saat ini, Freeport
telah memberikan dana keamanan kepada TNI dan Polri lebih dari USD 50 juta. Akibatnya, kasus pembunuhan,
penghilangan paksa, penyiksaan paksa, penyiksaan fisik terus dialami oleh
Rakyat dan Bangsa West Papua. Sejak keberadaan Indonesia dan Freeport di tanah
West Papua, lebih dari 500.000
orang dibunuh. “Militerisme adalah ekses dari adanya Freeport di tanah Papua,”
ucap salah satu massa aksi dalam orasinya.
Di penghujung aksi, Buli Ju dan Eko Mambor, dua mahasiswa
yang ISBI itu melakukan pertunjukan teatrikal. Dengan menggunakan atribut
Bintang Kejora, Buli Ju mengikat-ikat dirinya menggunakan potongan-potongan
kain. Lalu, keduanya melakukan adegan tarik-menarik dengan menggunakan sebuah
kain panjang. Eko Mambor mempraktekkan tindakan keji seorang aparat militer—membentuk jari-jemarinya menyerupai sebuah pistol—menembak Buli Ju yang
mengenakan atribut Bintang Kejora.
Pukul 11.45, aksi
ditutup dengan pembacaan statement politik dan tuntutan dari Aliansi
Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP).
Tuntutan yang dibacakan di
antaranya: (1) Usir dan tutup Freeport; (2) Audit dan kembalikan kekayaan
Freeport, serta berikan pesangon untuk buruh; (3) Audit cadangan tambang dan kerusakan
lingkungan; (4) Tarik TNI/Polri organik dan non organik dari tanah Papua; (5)
Berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratik bagi Bangsa West
Papua; (6) Usut, tangkap, adili dan penjarakan, para pelanggar HAM selama
keberadaan Freeport di Papua; (7) Biarkan Rakyat dan Bangsa West Papua
menentukan masa depan pertambangan Freeport di tanah West Papua; (8) Freeport
wajib merehabilitasi lingkungan akibat eksploitasi tambang; (9) Usir semua
investasi korporasi yang merusak Tanah dan Bangsa West Papua; (10) Bebaskan Obby
Kogoya dari kriminalisasi aparat kepolisian Yogyakarta.
Represi di beberapa tempat
Aksi “Tutup
Freeport dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua” juga dilakukan di beberapa kota lainnya. Namun di kota
lain, aksi yang dilakukan mendapatkan intimidasi dan penangkapan. Di Jayapura
dua puluh satu orang ditangkap. Lalu di Yogyakarta, barisan massa aksi dipukul
kemudian dibubarkan oleh milisi sipil reaksioner dan polisi, dikejar-kejar hingga ke
dalam kampus Universitas Gadjah Mada.
Tri S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar