Awetnya Racun Warisan Orde Baru


Komik By Eko Mambor
Dalam buku yang ditulis Fernando Baez, Penghancuran Buku Dari Masa Ke Masa, penghancuran buku dilakukan bukanlah oleh orang-orang primitif, bodoh, dan anti intelektual. Tapi oleh, ia menyebutnya,  biblioklas; orang yang berpendidikan, berbudaya, perfeksionis, dengan bakat intelektual yang tak biasa, tidak mampu mentolerir kritik, mitomia, dan cenderung mewakili lembaga yang memiliki kekuatan yang berkuasa.

Pada masa Orde Baru, pelarangan buku secara besar-besaran pernah terjadi. Semua buku yang diasosiasikan dengan “kiri”, dilarang dan dihancurkan. Pelarangan buku dilakukan oleh Kejaksaan Agung, diprovokasi oleh intelektual, penyair, pendukung Orde Baru. Tujuannya, mempertahankan sebuah versi kebenaran yang dianggap politis. Dan mitos mengenai komunisme dibangun: Komunisme jahat dan kejam.

Dalam buku Mityhologies, Roland Barthes menyebut bahwa mitos adalah bagian penting dalam ideologi. Mitos menjadi unsur penting yang dapat mengubah sesuatu yang kultural dan historis menjadi alamiah dan mudah dimengerti. Ketika mitos menjadi mantap, pesan yang didapat dari mitos pun tak perlu dipertanyakan lagi oleh masyarakat. Di masa Orde baru, lewat film Pengkhiatan G30S/PKI, pesan itu disampaikan. Setiap tahun sejak 1984-1997, film ini menjadi ritual untuk mengingatkan Rakyat Indonesia atas kepahlawanan Soeharto dan kejahatan kaum komunis. Film ini menjadi salah satu instrumen ampuh untuk mencakupkan pesan-pesan ideologis dan memanipulasi opini publik. Melalui narasi dan dramatisasi, dengan menekankan bahwa PKI-lah yang membunuh para Jenderal dengan cara sadis dan brutal.

Orde Baru dan kekuasaan Suharto berdiri di atas sebuah misteri tragedi pembunuhan tiga juta manusia yang dianggap anggota PKI dan simpatisannya. Kenyataan inilah yang menjadi landasan dibangunnya mitos kejamnya komunisme dan pelarangan terhadap hampir seluruh buku-buku yang dianggap kiri.

Sudah 19 tahun lamanya kekuasaan Soeharto tumbang. Mitos kejamnya komunisme tidak serta merta hilang. Segala macam bentuk kegiatan yang dianggap mengandung bahaya laten komunis dan mengingatkan kepada masa lalu akan diberangus. Bahkan di tingkat universitas sekalipun, yang konon menjujung tinggi prinsip “kebebasan akademik”. Pada tahun 2015, terjadi pemberedelan oleh pihak rektorat kampus terhadap majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”. Majalah Lentera merupakan karya Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Satya Kencana. Majalah itu berisi kisah sejarah Walikota Salatiga Bakrie Wahab yang dianggap sebagai tokoh PKI dan investigasi mengenai pembantaian simpatisan dan terduga PKI di Salatiga. Hal yang dipermasalahkan adalah judul sampul yang dianggap menyebut Salatiga sebagai kota PKI, dan simbol palu arit yang muncul. Majalah yang sudah beredar pun harus ditarik dan dikumpulkan sebanyak-banyaknya yang kemudian akan dibakar.

Tahun 2016, terjadi pembubaran Sekolah Marx di ISBI Bandung oleh kelompok ormas fundamentalis reaksioner. Pembubaran itu dilakukan karena sekolah Marx dianggap berpotensi menyebarkan paham komunisme dan berpotensi memecah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kasus yang terbaru adalah perampasan buku kiri yang dilakukan Wakil Rektor IV Telkom University kepada komunitas Perpustakaan Apresiasi. Peristiwa itu berujung pada diskorsnya dua mahasiswa Telkom University, Sinatrian Lintang Raharjo (Jurusan Ilmu Komunikasi) dan Fidocia Wima Adityawarman (Jurusan Manajemen Bisnis Tekonologi dan Informatika).

Perampasan itu terjadi saat komunitas Perpustaakan Apresiasi melakukan kegiatan rutinnya, membuka lapak baca buku gratis di pelataran Gedung Dekanat Telkom University (Tel-U). Pihak Warek IV Tel-U mendapati tiga buah buku yang dianggap berpotensi menyebarkan paham komunisme; Manifesto Partai Komunis yang ditulis oleh Karl Marx dan Frederich Engels, serta dua buku terbitan Tempo edisi “Orang Kiri Indonesia”, Njoto dan Musso.

Dalam kasus pemberangusan-pemberangusan yang terjadi, kita dapat melihat bagaimana cacatnya demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang tidak menerima pluralitas gagasan dan ideologi. Demokrasi warisan budaya fasistik; demokrasi tanpa demokrasi di dalamnya.

Dalam novel 1984, George Orwel menggambarkan satu negara totaliter di mana sebuah departemen pemerintahan dibangun untuk menemukan dan menghapus masa lalu. Buku-buku ditulis ulang dan versi aslinya dihancurkan. Buku dan sejarah selalu terkait erat dengan struktur kekuasaan. Ketika itu diberangus, kebisuan akan melegitimasi bencana pembodohan dan pendangkalan ingatan sejarah. 

Tri S. 


PEMBEBASAN Bandung

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar