Oleh: James Petras
|
Foto: www.landasanteori.com/ |
PERJUANGAN KELAS DAN KERJA SAMA
Berulang kali kaum Post Marxis
menulis tentang konsep "kerja sama" bagi semua orang, tidak peduli di
mana pun mereka berada tanpa memperhitungkan besarnya biaya sosial yang akan
dihabiskan dalam kerja sama di tengah rejim neo-liberal dan dominasi lemba-ga donor
internasional. Mereka melihat perjuangan kelas hanyalah sebagai nostalgia masa
lalu yang sudah tidak relevan lagi. Mereka mengatakan sudah muak dengan politik
kuno, ideologi dan para politikus.
Dilihat dari kulit luarnya mereka
punya pendapat yang benar, mereka bisa dianggap benar karena mereka kaum post
Marxis berhasil menyembunyikan peran mereka sebagai mediator ataupun calo dari
lembaga donor internasional dan berlomba-lomba untuk memajukan proposal yang
bisa diterima oleh pendana mereka di luar negeri. Para pebisnis "yayasan
kemanusiaan" di luar negeri yang menjadi mitra mereka, sebenarnya justru
berhubungan dengan para calo neo-liberal; mereka memang memberikan training
kepada sejumlah wanita miskin tapi untuk dipekerjakan pada perusahaan skala kecil
yang mereka dirikan sendiri, yang mana perusahaan kecil itu merupakan
sub-kontraktor dari perusahaan eksportir yang lebih besar.
Politik dari para kaum post Marxis
adalah politik "komprador", mereka tidak menghasilkan produk apapun
yang bisa dimasukkan dalam produksi nasional, justru mereka mencoba
menghubungankan lembaga donor mereka dengan buruh-buruh secara langsung, untuk
melicinkan lajunya neo-liberalisme. Dalam hal ini, kaum post Marxis yang
menjadi manajer sejumlah LSM adalah aktor politik paling utama atas training,
workshop yang tidak memberikan kontribusi ekonomi apapun, baik menyumbang untuk
Produk Nasional Bruto (GNP) maupun mengurangi angka kemiskinan. Kegiatan mereka
hanya bisa memecah belah rakyat dari perjuangan kelas ke arah gerakan yang
moderat dan tidak efektif, sebuah bentuk gerakan yang berkolaborasi dengan para
penindas.
Dalam perspektif Marxis, perjuangan
kelas dan konfrontasi terhadap borjuasi harus dibangun atas dasar kesadaran
adanya pembagian kelas dalam masyarakat : antara orang-orang yang sibuk bermain
tingkat keuntungan saham, nilai suku bunga, nilai sewa ataupun jumlah pajak dan
orang-orang yang harus berjuang untuk meningkatkan gaji mereka, investasi
produksi dan jaminan sosial. Pandangan post Marxis telah membuah-kan hasil dan
bisa kita lihat di mana-mana seperti konsentrasi pendapatan di tangan
segelintir orang dan meningkatnya jurang perbedaan kaya-miskin semakin besar
dibanding sepuluh tahun yang lalu, semua itu terjadi setelah mereka sibuk
dengan konsep " kerjasama" dan "kemandirian" ataupun
"usaha kecil". Saat ini bank seperti Inter American Development Bank
(IDB) memberi dana kepada perusahaan ekspor agrobisnis yang menindas dan
meracuni jutaan petani dan buruh di perkebunan besar, di sisi lain bank ini
justru memberikan pendanaan kepada proyek-proyek LSM yang memposisikan dirinya
membela para petani dan buruh yang tertindas tersebut. Justru peran kaum Post
Marxis dengan LSM telah menetralisir perjuangan politik di tingkatan massa
dalam melawan kebijakan neoliberal yang dilancarkan oleh para petinggi dan
politikus.
Ideologi "cooperation"
(kerja sama/gotong royong) justru dipakai untuk menghubungkan kaum miskin
dengan kaum Post Marxis sebagai fasilitator menuju para pejabat di tingkat atas
yang merupakan arstitek neo-liberalisme. Secara intelektual, kita bisa
mengkategorikan kaum post Marxis sebagai polisi intelektual yang bisa
menentukan proyek penelitian mana yang bisa diterima, membagikan dana untuk
proyek penelitian tertentu, menyaring topik penelitian dari diskusi tentang
perjuangan kelas dan perspektif perjuangan politik, dengan alasan yang
dibuat-buat. Kaum Marxis selalu disingkirkan oleh mereka dalam konferensi
ataupun seminar-seminar akademik dengan alasan forum akademik yang obyektif
tidak bisa menerima para ideolog, sementara kaum post marxis sendiri
ditempatkan sebagai akademisi ataupun peneliti sosial yang independen.
Kontrol mereka atas fasilitas
intelektual, publikasi dan penerbitan, seminar-seminar dan konferensi serta
pendanaan penelitian-penelitian telah memberikan kaum post-marxis kekuatan yang
berarti, akan tetapi di sisi lain mereka justru jadi tergantung pada pendana
mereka, dan berusaha sekeras mungkin menghindari konflik dengan funding
agencies mereka.
Kritik-kritik yang dilancarkan oleh
intelektual Marxis memiliki keunggulan tersendiri dalam menjelaskan dinamika
dan perkembangan sosial. Secara taktis kaum marxis memang lemah, tapi secara
strategis mereka jauh lebih kuat dibandingkan kaum post marxis.
APAKAH GERAKAN ANTI IMPERIALISME
SUDAH TAMAT?
Dalam beberapa tahun terakhir gerakan
anti imperialisme sudah menghilang dari panggung politik kaum marxis. Para
bekas gerilyawan di Amerika Tengah telah berubah menjadi politikus yang hanya
sibuk memikirkan Pemilu, dan para manajer LSM masih terus sibuk bicara di forum
internasional tentang konsep mereka. Orang-orang miskin di Amerika Latin
semakin dibebani hutang yang disalurkan oleh bank-bank Amerika, Jepang dan
Uni-Eropa. Perusahaan-perusahaan milik negara, fasilitas umum, bank-bank dan
kekayaan alam sudah terjual dengan harga murah ke tangan perusahaan Amerika,
Eropa dan multinasional lainnya. Pada saat yang sama muncul pula generasi
jutawan baru di Amerika Latin yang mempunyai simpanan di bank-bank Amerika dan
Eropa. Amerika-Serikat memiliki lebih banyak penasehat militer untuk daerah
Amerika Latin, petugas anti-narkotik, ataupun polisi federal yang ditujukan
langsung untuk mengawasi Amerika Latin. Menurut cerita dari beberapa orang
bekas Sandinista dan bekas Farabundistas bahwa semangat anti imperialisme telah
luntur sejak perang dingin berakhir. Masalahnya bukan karena investasi asing
maupun bantuan asing tidak mengalir lagi, tapi karena mereka gagal memahami
bahwa investasi asing tersebut justru mengurangi upah buruh, menghancurkan
sistem jaminan sosial dan merubah Amerika Latin menjadi ladang pertanian
raksasa, lahan pertambangan raksasa dan daerah pasar bebas yang tidak memperdulikan
kedaulatan bangsa, hak azasi manusia dan nasib jutaan orang.
Kaum Marxis menekankan bahwa
eksploitasi oleh kaum imperialis berakar dari hubungan produksi yang berkaitan
dengan hubungan multilateral antara negara imperialis dengan negara kapitalis
yang tergantung pada mereka. Ambruknya Uni Soviet telah melempangkan jalan bagi
kaum imperialis untuk melanjutkan eksploitasi mereka. Kaum Post Marxis dan
bekas Marxis yang percaya bahwa dunia yang damai akan tercipta dengan
"cooperation" tidak mampu mengerti akan intervensi Amerika Serikat di
Panama, Irak, Somalia dan beberapa negara lainnya. Dinamika imperialisme justru
lebih berhubungan dengan dinamika internal modal sendiri dibanding dengan
dinamika persaingan mereka dengan Uni Soviet. Delapan tahun sejak runtuhnya Uni
Soviet, perekonomian Amerika Latin telah kembali seperti saat mereka masih
dijajah ratusan tahun yang lalu.
Perjuangan anti imperialisme dewasa
ini perlu melibatkan rekonstruksi tentang konsep bangsa, pasar domestik, dan
produksi ekonomis dan hubungan kelas buruh dengan produksi sosial dan konsumsi.
DUA PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL:
ORGANISASI KELAS DAN LSM
Untuk meningkatkan mutu perjuangan
anti imperialisme dan perjuangan melawan komprador baru dari dalam negeri, kita
harus melampaui perdebatan ideologis dan kultural dalam tubuh kaum post Marxis
sendiri dan juga gerakan rakyat.
Dewasa ini neo-liberalisme beroperasi
di dua lini yaitu ekonomi dan budaya politik, dan neo-liberalisme juga
beroperasi di dua level yaitu tingkatan rejim dan tingkatan rakyat kelas bawah.
Pada tingkatan atas neo-liberalisme, kebijakan neo-liberal dikemas dan
diterapkan melalui agen-agen yang sudah mapan seperti Bank Dunia, IMF dengan
bekerja sama dengan pemerintahan di Washington, Bonn dan Tokyo dan mengikut-
sertakan rejim-rejim neo-liberal dan para eksportir besar, konglomerat besar
dan bankir bankir ternama.
Pada awal tahun 80-an, beberapa pihak
rejim neo-liberal mulai menyadari bahwa kebijakan mereka telah menciptakan
polarisasi di kalangan massa dan menciptakan keresahan sosial yang
berkepanjangan. Rejim neo-liberal pun mulai membiayai dan mempromosikan
strategi paralel yang berasal dari arus bawah, promosi organisasi grass root,
dan organisasi dengan ideologi anti State (negara) serta organisasi ini dipakai
untuk masuk ke daerah-daerah potensial konflik, dengan tujuan menciptakan sosok
"malaikat penyelamat". Jelas bahwa organisasi tersebut sangat
tergantung pada sumber dana dari rejim neo-liberal dan akan terlibat secara
langsung dalam persaingan dengan gerakan sosio politik lainnya untuk merebut
kepemimpinan di tingkatan massa dan aktivis lokal. Pada akhir tahun 1990-an
organisasi seperti ini digambarkan sebagai "ornop" (organisasi non
pemerintah), berjumlah ribuan dan menerima uang sekitar 4 milyar dollar AS dari
berbagai penjuru dunia.
Banyak orang yang bingung untuk
memahami karakter NGO/LSM. Untuk memahami ini kita harus melihat ke belakang
dari sejarah mereka di tahun 70-an ketika pemerintahan otoriter masih bercokol
dengan kuat. Pada masa kediktatoran mereka sibuk memberikan bantuan kemanusiaan
untuk menolong korban penindasan rejim militer dan mengecam pelanggaran hak
asasi manusia. Pada masa ini LSM masih dipandang sebagai mitra bagi kekuatan
kiri revolusioner, bahkan LSM pun dikategorikan sebagai kelompok progresif.
Dalam tahap berikutnya mulai kelihatan batasan-batasan yang dimiliki oleh LSM,
ketika mereka mengecam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rejim
otoriter waktu itu, mereka seakan- akan melupakan pelanggaran hak asasi patron
mereka yaitu Amerika dan Uni Eropa yang telah berjasa memberikan uang kepada
mereka. Jadi dengan kata lain, kekuatan asing yang mendanai mereka telah
membatasi ruang gerak kritik dan aksi mereka untuk membela hak asasi manusia.
Ketika semakin banyak orang yang
menentang kebijakan neo liberal di awal tahun 80-an, Amerika Serikat dan Eropa
serta Bank Dunia justru meningkatkan bantuan dana yang diberikan kepada LSM.
Jadi ada hubungan antara bangkitnya gerakan anti neo-liberalisme dan usaha
untuk menghacurkan itu dengan cara menciptakan bentuk aksi sosial yang baru
melalui LSM -LSM yang menjamur seperti di musim hujan. Dasar utama kerjasama di
antara LSM dan Bank Dunia adalah mereka mempunyai musuh yang sama yakni
"konsep peran negara" (statism). Kalau kaum Post Marxis
mengkritik peran negara dari perspektif bahwa yang penting adalah membangun
masyarakat sipil (civil society), sementara itu dari sayap kanan serangan
dilancarkan atas nama kepentingan pasar (market). Pada kenyataannya, Bank
Dunia, rejim neo-liberal dan lembaga donor internasional justru mengkooptasi
dan mendorong LSM untuk melupakan konsep negara kesejahteraan (welfare state)
dengan menyalurkan jasa pelayanan sosial bagi kompen-sasi korban dari
perusahaan multinasional. Dengan kata lain, rejim neo-liberal pada tingkatan
atas (pusat) bekerja untuk menghancurkan masyarakat dengan membanjiri negara
dunia ketiga dengan impor mereka, hutang luar negeri ataupun kredit lunak dan
menghapuskan kebijakan perburuhan yang demokratis, menciptakan jumlah tenaga
kerja murah dan pengangguran. Di sisi lain LSM didorong untuk memberikan
pendidikan dan training, proyek berdikari dan kemandirian, mengkooptasi
pemimpin lokal dan meng-hancurkan perjuangan kelas.
LSM telah menjadi bagian dari masyarakat
neo liberal, dan jelas berhubungan dengan para petinggi neo-liberal dan
mempersenjatai dirinya dengan kerja mereka yang destruktif di tingkatan bawah.
Jelasnya, neo liberal mempunyai senjata berupa pisau bermata dua. Sayangnya,
kebanyakan kaum kiri revolusioner hanya memfokuskan pada kaum neo liberal yang
muncul dari atas dan luar negeri yaitu IMF dan Bank Dunia dan banyak kaum
revolusioner yang melupakan neo liberalisme dari dalam dan dari bawah seperti
LSM dan koperasi pengusaha kecil. Kegagalan mereka melihat ini adalah karena
banyaknya bekas Marxis yang masuk ke LSM dan terjun di LSM. Post Marxis adalah
ideologi, sementara community development sebagai tiket dari politik kelas
menuju "pengembangan komunitas" , dari Marxis ke LSM.
Ketika neo liberalisme berusaha
memindahkan atau mengalihkan badan usaha milik negara dan asset negara ke
tangan swasta asing, LSM tidak pernah terlibat dalam perjuangan buruh melawan
kebijakan ini, ataupun mencoba mengkritik. Sebaliknya mereka aktif di proyek
proyek swasta kecil, mempromosikan usaha wiraswasta di tingkatan daerah dengan
memfokuskan pada usaha koperasi kecil. LSM berusaha membangun jembatan
penghubung antara kapitalis kecil dengan pengusaha besar yang memonopoli proses
swastanisasi asset nasional dan asset publik, semuanya diatas namakan
kepentingan masyarakat sipil dan mengurangi peran negara. Ketika kaum kapitalis
menumpuk modalnya serta membangun kerajaan bisnis mereka melalui proses
swastanisasi , kelompok LSM pun kebagian keuntungan dengan mendapatkan sedikit
bagian dari keuntungan itu untuk membiayai kantor mereka, uang transport,
kompu-terisasi, seminar-seminar dan usaha kecil-kecilan. Hal yang paling
penting untuk dicatat adalah peran LSM dalam mendepolitisasi sektor rakyat,
menghancurkan peran pegawai negeri yang melayani kepentingan umum, dan
mengkooptasi para pemimpin yang ber-potensi dari proyek-proyek mereka. LSM
tidak pernah turun membela para guru yang melawan kebijakan neo liberal yang
memangkas anggaran pendidikan. Bisa dihitung dengan jari berapa kali LSM
mendukung pemogokan buruh dan protes menentang upah rendah dan pemotongan
anggaran untuk sektor publik. Karena anggaran pendidikan mereka didanai oleh
pemerintahan neo liberal, mereka menolak memberikan solidaritas kepada para
tenaga pendidik yang berjuang melawan pemerintah.
Pada prakteknya, LSM atau ornop
adalah organisasi yang pro pemerintah. Mereka menerima anggaran dari pemerintah
asing, dan bekerja sebagai sub-kontraktor bagi pemerintahan mereka sendiri.
Sering sekali mereka bekerja sama dengan lembaga pemerintahan di dalam negeri
maupun luar negri . Sub-kontrak yang mereka lakukan te-lah mengubah mereka
menjadi sekelompok profesional yang pro bisnis. LSM tidak mampu memberikan
program komprehensif untuk jangka waktu panjang seperti yang disediakan oleh
negara kesejahteraan, hasil nyata yang dapat mereka berikan hanyalah pelayanan
kepada sekolompok kecil orang di daerah tertentu saja. Yang terpenting program
mereka dianggap layak jual bagi lembaga donor internasional, tidak penting nilainya
di mata masyarakat yang mereka jadikan obyek. Dalam kasus ini LSM telah
menghancurkan nilai-nilai demokrasi dengan mengambil alih semua program sosial
ke tangan mereka dari rakyat dan mereka memilih pegawai dan pengurus yayasan
tanpa melibatkan massa rakyat yang mereka jadikan obyek, jadi mereka mengangkat
sekelompok orang yang tergantung pada kebijakan lembaga donor internasional.
LSM mengalihkan perhatian rakyat dari
perjuangan melawan anggaran pendapat-an dan belanja nasional demi melanggengkan
anggaran yang disediakan untuk mereka. Sikap ini telah memberikan ruang gerak
bagi kaum neo liberal untuk memotong anggaran subsidi sektor publik dan
mengalihkannya untuk membayar hutang bank-bank besar maupun hutang para
eksportir. Para kaum miskin membayar pajak kepada negara dan tidak memperoleh
apa-apa, kelas buruh harus bekerja lembur tanpa dibayar, mereka menjadi obyek
penelitian bagi LSM dan tidak pernah dibela oleh LSM. Ideologi kaum LSM adalah
"aktifitas sukarela untuk kepentingan sendiri" (private voluntary
acitivity)", ideologi ini seakan-akan mengingkari peran pemerintah yang
mempunyai kewajiban untuk memelihara warga negara dan memberikan jaminan hidup
yang layak, kebebasan dan jaminan atas kebahagian mereka. Yang dikampanyekan
oleh kaum LSM adalah ide kaum neo liberal bahwa tanggung jawab pribadi untuk
memecahkan masalah sosial dan pentingnya kemampuan masing masing pribadi untuk
memecahkan masalah sosial. Jadi mereka melipat gandakan penindasan pada kaum
miskin, sudah dipaksa membayar pajak untuk membiayai proyek rejim neo liberal
yang mana pajak itu hanya dipakai melayani kepentingan si kaya, disuruh pula
memenuhi sendiri kebutuhan dasarnya sebagai warga negara.
LSM DAN GERAKAN SOSIAL POLITIK
LSM menekankan pada proyek-proyek
yang tidak berorientasi aksi dan masuk dalam konteks gerakan masssa. Mereka
hanya memobilisasi orang-orang pada tingkatan paling rendah dan bukan untuk
perjuangan yang memberi mereka kesempatan mengontrol basis produksi dan
kekayaan. Mereka hanya memfokuskan pada bantuan finansial secara teknis kepada
orang miskin dan tidak melihat permasalahannya secara struktural dan mereka
tidak mampu memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan rakyat miskin yang
menjadi obyek mereka. LSM mencuri terminologi kaum kiri revolusioner yaitu
"people power", pemberdayaan, persamaan hak (gender equality), dan
arus bawah (bottom up leadership). Mereka telah mencuri istilah-istilah dan
memakainya dalam kerangka kolaborasi dengan negara donor dan lembaga pemerintah
yang telah mensubordinasi mereka. Mereka selalu mengatakan bahwa semangat
kegiatan dan aktifitas mereka adalah "pemberdayaan" yang tidak pernah
mampu memberdayakan sekelompok kecil masyarakat di lingkungan tertentu dengan
sejumlah dana dan tenaga yang terbatas.
LSM dan para manajer post Marxis
mereka tenggelam dalam persaingan antar mereka sendiri untuk melakukan
aktifitas sosial politik yang bertujuan untuk memberikan pengaruh di antara
kaum miskin, wanita dan kaum kulit berwarna. Ideologi mereka jauh dari sumber
masalah dan jalan keluar dari kemiskinan yang menjadi obyek penelitian mereka.
Mereka selalu mendengung-dengungkan usaha-usaha kecil ( micro enterprises)
sebagai jalan keluar, tanpa memperhitungkan eksploitasi oleh Bank Dunia. Di
sisi lain, bantuan mereka juga menciptakan masalah di tengah masyrakat yang
terbuai dengan bantuan-bantuan dan janji -janji muluk LSM, muncul persaingan di
antara masyarakat juga untuk mencari simpati dari LSM dan melupakan solidaritas
kelas di antara mereka sendiri. Hal yang sama juga terjadi dikalangan LSM
dimana masing-masing kelompok berlomba-lomba untuk mendirikan LSM untuk
mendapatkan dana dari luar negri. Ketika pada suatu saat proyek-proyek LSM ini
menyurut karena mereka kehabisan ide atau masalah internal lainnya, para
lembaga donor justru mengalihkan pendanaan mereka kepada LSM yang jelas-jelas
bekerja sama dengan pemerintah, dan mendesakkan kebijakan neo liberal
dijalankan melalui LSM tersebut.
Strategi Pemilu yang menjadi senjata
utama kaum post marxis justru memberikan peluang kepada partai politik yang
disponsori oleh kaum neo-liberal dan media massa borjuis. Pendidikan politik
tentang imperialisme dan hubungan kelas antara pemilik modal dan buruh sama
sekali tidak menjadi agenda mereka. Mereka mengkooptasikan kaum miskin kepada agenda
neo liberal dengan menekankan konsep kemandirian, mereka menciptakan dunia
politik yang mana solidaritas dan aksi sosial perlu dibicarakan terlebih dahulu
dengan lembaga donor internasional dan struktur aparatus negara.
Bukan kebetulan kalau LSM menjadi
dominan dan tumbuh subur di beberapa negara di mana aksi perjuangan kelasnya
sedang menurun dan rejim neo liberal sedang melaju dengan kencangnya. Jelasnya
laju pertumbuhan sejumlah LSM ditentukan oleh meningkatnya pendanaan dari luar
negeri yaitu rejim neo-liberal dan meningkatnya angka kemiskinan di sebuah
negara. Di sisi lain gerakan kiri revolusioner sedang mengalami kemunduran di
mana banyak para gerilyawan dan aktifis kiri revolusioner, aktifis buruh,
organisasi wanita rakyat telah dikooptasi oleh LSM. Mereka telah ditawari gaji
yang tinggi, kedudukan dan jaminan dari lembaga donor internasional dan
undangan di konferensi interansional dan jaminan tidak akan ditangkap dan
disiksa oleh militer. Hal itu berbanding terbalik dengan gerakan sosial politik
yang hanya mendapatkan sejumlah kecil keutungan material tapi mendapatkan
respek yang besar dan idenpendensi serta yang lebih penting adalah kemerdekaan,
kebebasan untuk menentang sistem ekonomi dan politik neo liberal. LSM dan
bank-bank multinasional pendukung mereka sering mempublikasikan newsleter yang
menceritakan tentang kesuksesan dari koperasi usaha kecil dan konsep
kemandirian mereka, tanpa mereka menyebutkan tingginya suku bunga, rendahnya
daya konsumsi masyarakat serta impor yang membanjiri pasar dalam negeri,
seperti kasus Mexico saat ini.
Mungkin kesuksesan mereka benar-benar
nyata, tapi itu hanya berlaku bagi sebagian kecil kelompok orang miskin.
Meningkatnya angka kejahatan dan kekerasan di daerah-daerah kerja mereka
merupakan indikasi bahwa LSM belum berhasil meng-gantikan gerakan sosial
politik yang independen.
Akhir kata, LSM merupakan bentuk baru
dari penjajahan di bidang ekonomi dan kultural serta ketergantungan gaya baru.
Proyek-proyek mereka didesain atau paling tidak ditentukan secara garis besar
oleh lembaga donor internasional mereka. Mereka diurus dan dijaga oleh lembaga
donor mereka dan dijual kepada rakyat. Evaluasi kerja mereka juga dilakukan
oleh lembaga donor tersebut.
Ketika sudah jelas bahwa LSM adalah
instrumen dari rejim neo-liberal, masih ada sekelompok kecil orang yang mencoba
memberikan alternatif yaitu perjuangan kelas dan politik anti imperialisme.
Tidak ada satupun dari mereka yang menerima dana bantuan dari funding agency,
dari pemerintah Amerika, Eropa maupun Bank Dunia. Mereka beru-saha
menghubungkan kekuatan lokal ke arah perjuangan kelas melawan kekuasaan
ne-gara. Mereka memberikan solidaritas politik kepada gerakan sosial yang
terlibat dalam perjuangan kelas di berbagai sektor. Mereka mendukung perjuangan
kaum wanita me-menangkan prespektif kelas. Mereka percaya bahwa organisasi
lokal harus dibawa ke arah perjuangan nasional dan kepemimpinan nasional harus
dibisa diterima oleh aktivis di tingkat bawah.
29 Februari, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar