A Cartoon of Land Grabbing. Sumber gambar: wordpress.clarku.edu |
Penderitaan Rakyat harusnya jadi alasan
utama kita bergerak dan mengorganisir Rakyat melawan perusahaan. Dalam hal ini
perusahaan yang dimaksud adalah PT Dharmaprasetia Cipta Graha. Kasus yang
terbaru adalah ditutupnya jalan gang di samping rumah bah Apud.
Jalan gang ini berfungsi sebagai jalan
penghubung antara RT 1 dengan RT 2, RW 11, kampung Kepuh. Jalan ini biasanya
digunakan sebagai akses jalan ibu ibu pengajian menuju masjid al Barokah. Tentu
saja yang mula mula marah atas ditutupnya jalan gang ini adalah keluarga bah
Apud, pasalnya pernah ada perjanjian secara lisan antara pihak pengembang
dengan keluarga bah Apud bahwasannya gang ini tidak akan ditutup oleh
perusahaan, namun nyatanya kini ditutup. Bah Apud dan keluarga terang saja
marah.
Berikutnya yang marah atas kejadian
ditutupnya gang ini adalah ibu ibu pengajian al Barokah. Mereka jelas dirugikan
atas penutupan gang ini. Dengan ditutupnya gang bah Apud, kini mereka mesti
jalan memutar agak jauh untuk sampai ke masjid tempat biasa mereka ngaji
berjamaah.
Tidak hanya jalan itu yang akan
ditutup, jalan penghubung RW 12 dan 11 menuju ke RW 26 serta jalan satu satunya
masuk dan keluar rumah Angga pun kabarnya terancam ditutup. Rencana penutupan
jalan yang menghubungkan antara RW 11 dan 12 menuju RW 26 sudah disampaikan
pihak pengembang melalui surat kepada ketua RW 11. Adapun rencana penutupan
jalan masuk dan keluar rumah Angga sudah disampaikan pihak pengembang kepada
Angga pada tanggal 17 Maret 2017 oleh bapa H. Tantan selaku penanggungjawab
proyek pembangunan perumahan.
Kasus kasus di atas adalah kasus
terbaru di satu bulan terakhir ini akibat ulah perusahaan yang tidak
mengindahkan kepentingan warga sekitar proyek (pembangunan perumahan),
khususnya warga RW 11. Hal ini tidak bisa terus dimaklumi seperti
permakluman kita pada kasus kasus akibat ulah sewenang wenang perusahaan kepada
beberapa warga RW 12 dengan alasan tak layak dijadikan dasar untuk melawan
perusahaan karena kurang kuat secara hukum serta itu adalah persoalan pribadi
belaka. Alhasil kita menunda nunda pengorganisasian massa Rakyat melawan
perusahaan dengan alasan kurang kuat secara hukum jika itu yang dijadikan dasar
perlawanan.
Apa yang pribadi apa yang publik?
Sementara itu, perusahaan terus saja melakukan tindakan sewenang wenang kepada
warga sekitar proyek, satu orang, dua orang, tiga orang, banyak orang yang
menjadi korban kesewenang wenangan perusahaan. Dan kita malah sibuk berkutat
mencari celah celah hukum-prosedural perizinan pengembang. Mestinya kita sudah
bisa menilai bahwa ini bukan soal pribadi atau publik, ini soal perusahaan yang
nyata nyata bertindak sewenang wenang pada warga sekitar, pada Rakyat. Jika pun
menimpa pada pribadi pribadi, keliru jadinya jika dipandang itu sebagai
persoalan pribadi dan tak layak disuarakan oleh kolektif warga yang
terorganisir, justru harusnya karena ada penderitaan pribadi pribadi itulah
perlawanan mendasarkan dirinya.
Ada hak Rakyat yang direnggut di sini
oleh perusahaan. Bukan, bukan hak yang landasannya sertifikat tanah. Jika
landasan hak yang dimaksud adalah berdasarkan kepemilikan tanah semata, boleh
jadi benar apa yang dilakukan perusahaan. Benar, apa yang dilakukan perusahaan
dengan membenteng akses jalan warga: jalan (RW 11) yang menghubungkan RT 1 ke
RT 2, akses jalan keluar masuk rumah Angga, akses jalan yang menghubungkan RW
11-12 menuju RW 26, karena benteng yang dibuat berada di tanah perusahaan,
tanah perusahaan ada sertifikatnya. Tapi bukan itu hak yang dimaksud, karena
hak model itu telah nyata nyata merugikan orang banyak, merugikan Rakyat. Hak
Rakyat yang dimaksud di sini adalah di mana suaranya diakomodir, dilibatkan
dalam setiap proses mengelola kawasannya entah itu oleh pemerintah maupun oleh
perusahaan properti (pengembang). Kini situasinya hak Rakyat direnggut
perusahaan.
Menunda nunda pengorganisasian Rakyat
(lewat metode aksi massa dan musyawarah akbar yang melibatkan seluas luasnya
massa Rakyat) adalah indikasi ketidakpercayaan pada kekuatan Rakyat itu
sendiri. Padahal di sisi lain metode metode selainnya sudah terbukti mandul,
sebut saja metode perwakilan. Di mana hanya tokoh tokohnya saja yang ambil
bagian dalam penyelesaian permasalahan ini, kemudian diselesaikan di ruang
ruang mediasi yang telah disituasikan oleh pihak pengembang. Sudah lebih dari
tiga kali mediasi dengan pihak pengembang (PT DCG) dan tak pernah membuahkan
hasil, sudah sejak beberapa bulan yang lalu, sejak perusahaan pertama kali
beroperasi. Tapi penderitaan terus diproduksi oleh perusahaan, untuk Rakyat
sekitar proyek. Dan kita masih mencari cari celah hukum untuk menyerang
pengembang.
Hukum. Hukum nanti dulu, buka dulu
ruang buat Rakyat berani bicara, berani bersuara. Selama ini suaranya dicuri
tokoh tokoh. Jalannya lewat aksi massa dan rapat rapat umum yang melibatkan
seluas luasnya massa Rakyat. Bukan berarti hukum tidak penting, ini cuma salah
satu senjata saja untuk memenangkan kepentingan Rakyat, yang paling penting
adalah Rakyat mau berkumpul dulu, menyuarakan pendapatnya, dan bersatu.
Jalannya lewat aksi massa dan rapat rapat umum.
Yoga Zara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar