![]() |
Sore hari, Jumat 16 September 2016, jam 16.54
WIB hujan jatuh di kota Bandung, membuat lantai putih-keramik tak kalah dingin
dengan bongkahan es batu. Kondisi terebut tak menyurutkan semangat kawan-kawan
PEMBEBASAN Kolektif Kota Bandung melaksanakan diskusi, meski harus berdesakkan
di ruang terbuka yang tak terlalu luas, tanpa tembok, berangin, duduk di
keramik dingin. Kehendak belajar mengabaikan cuaca demi sebuah diskusi buku berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965,
salah satu buku penting untuk mengonter fitnah-fitnah orde baru—yang menyerang
gagasan kiri (Marxis/Komunis) dalam arena seni dan kebudayaan—secara teoritik
dan historis. Buku yang bertajuk Kekerasan Budaya Pasca 1965 ini
merupakan disertasi Wijaya Herlambang.
Diskusi kali ini sangat menarik. Joel, sebagai
fasilitator, berhasil membeberkan isi buku secara sistematis. Dalam disertasi
Wijaya Herlambang ini terdapat tiga tujuan penulisan yaitu: memaparkan tragedi
65’ sebagai hal yang lumrah, cara kerja orba dan agen kebudayaannya, melalui
produk budaya, melegitimasi kekerasan terhadap kaum komunis. Demi
mencapai tujuan tersebut, Wijaya Herlambang dalam BAB II menggunakan landasan
teori untuk analisa kekerasan budaya pasca 65 di Indonesia. Pertama,
menggunakan teori J. Galtung yang memecah tiga jenis kekerasan yaitu: kekerasan
langsung yang dapat diartikan kekerasan yang dapat dilihat secara kasat mata
(benturan fisik), dan, jenis kekerasan tidak langsung/struktural, adalah kekerasan
yang sistematis, contohnya: kemiskinan dan ketidakadilan, jenis kekerasan
budaya ini merupakan kekerasan krusial, dapat mengakibatkan kekerasan langsung
dan atau struktural terjadi.
Landasan Teori kedua yang dipakai Herlambang dalam disertasinya adalah
teori kekerasan Althusser. Dalam teori kekerasan Althusser dapat dijalankan
dengan dua model, yaitu: Ideological
State Apparatus (ISA) dan Repressive
State Apparatus (RSA), keduanya merupakan usaha negara mengatur
kesadaran masyarakat. Perbedaannya, ISA adalah kekerasan yang bergerak dalam
sektor privat, seperti keluarga, agama, sekolah dan kebudayaan. Sedangkan RSA
adalah kekerasan dalam sektor publik. Dalam analogi marxian, RSA manifest dalam
kekerasan birokrasi, tentara, aparat, penjara, dsb. RSA lebih dapat menunjukkan
kekerasan terhadap masyarakat, namun dalam RSA terdapat pluralitas ISA, sebagai
contoh, kekerasan langsung oleh aparat, atau kejahatan secara struktural oleh
pemerintah untuk memiskinkan masyarakat, menurut Althusser, kekerasan RSA tersebut
bergerak atas landasan ideologi, sehingga ISA merupakan kekerasan berbentuk
imaginari, yang mempengaruhi terhadap kekerasan RSA.
Teori ketiga Herlambang menggunakan teori
Kekerasan Linguistik William Guy dan Gordievsky. William Guy mengartikan bahwa
kekerasan linguistik memberikan dampak terhadap kekerasan langsung maupun
kekerasan tidak langsung, sedangkan Gordievsky mengartikan kekerasan linguistik
memberikan dampak pada kekerasan langsung. Perbadaan teori dari kedua ahli
tersebut tidak terlalu krusial, karena perbedaan hanya sebatas sejauh mana
dampak yang dihasilkan dari kekerasan linguistik menghasilkan kekerasan
terhadap masyarakat.
Ketiga pemikir teori yang diajukan Wijaya Herlambang dalam disertasinya, menjadikan alat untuk menganalisis produk kesenian yang melegitimasi kekerasan terhadap anggota atau simpatisan komunis di Indonesia setelah 1965, baik secara struktural atau tekstual dari karya kontra komunis, dan analisis di luar teks, yang menjawab bagaimana kondisi politik dan sosial saat itu, sehingga terciptanya karya-karya tersebut.
BAB III dalam distertasi Herlambang, dengan tema
"Cikal Bakal Orba dan Ideologi Anti Komunis", mendeskripsikan kondisi
pergulatan politik di Indonesia, salah satunya menceritakan Partai Sosialis
Indonesia (PSI), menjalin hubungan politik dengan Amerika Serikat,
tokoh-tokohnya adalah Sumitro Djojo Herdikusumo, Sjahrir, Soedjatmoko. Kemudian
Masyumi yang menjalin hubungan dengan Amerika Serikat, sehingga mendapatkan
dana untuk pemilu tahun 1955. Tentu hubungan diplomatik PSI dan Masyumi,
dilakukan sebagai langkah awal, agar modal asing dapat masuk ke Indonesia (saat
itu Presiden Soekarno, anggota dan simpatisan komunis menolak adanya modal
asing), dengan menyusun strategi bagaimana paham-paham liberalisme dapat
menyebar di Indonesia, yaitu dengan distribusi buku-buku beraroma humanisme
universal/liberal.
Upaya legitimasi kekerasan dan liberalisasi ala
"Barat" begitu masif. Pada tahun 1949 sampai 1950-an, Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) melakukan kunjungan ke Washington,
tunjuannya membuat program untuk mengangkat persoalan ideologi, yang alasannya
juga dapat mendukung akses bebas modal asing masuk ke Indonesia, lewat dunia
literasi/intelektual di Indonesia. Di tahun yang sama pula, US Information
Agency, Ford dan Rockefeller, mendukung program tersebut dengan
mendistribusikan buku-buku berpaham liberal (kanan), ke Universitas Indonesia,
dengan tujuan mengkampanyekan liberalisme atau keterbukaan ekonomi, di saat
Presiden Soekarno sedang gencar-gencarnya menyukseskan program
ekonomi-berdikari.
Kemudian, di Berlin tahun 1950, dilaksanakan
pertama kali Congress for Cultural Freedom (CCF). CCF bertujuan melepaskan
gagasan/paham komunisme dari para seniman dan intelektual. CCF sesungguhnya
dikendalikan oleh Office of Police Coordination (OPC), OPC, yang diketuai oleh
pejabat CIA, juga berada di bawah komando Central Intelligence Agency (CIA),
maka tak heran program-program CCF juga didanai oleh CIA. Setelah dari berlin,
CCF banyak diselenggarakan di berbagai negara, seperti Spanyol, Jerman,
Australia, Prancis, Indonesia, dll, melalui agen-agennya. Di Indonesia agen CCF
itu sendiri adalah Partai Sosialis Indonesi (PSI).
Lima tahun kemudian, 1955, CCF Asia
diselenggarakan, dari Indonesia tentu dihadiri oleh simpatisan PSI, seperti
Mochtar Lubis (juga anggota Internasional Press Institude), Sutan Takdir
Alisjahbana, dan Sumitro Djojo Herdikusumo yang menjadi ketua kehormatan
konferensi CCF Asia. Satu tahun kemudian, 1956, CCF Komite Intersim Indonesia
dibentuk, tugasnya menerjemahkan buku dan distribusi buku yang didukung oleh
CCF, untuk menjalankan misi tersebut, Komite Intersim Indonesia membentuk CCF
Konfrontasi, yang merupakan kelompok diskusi yang menyebarluaskan ide-ide
liberalisme.
CCF Konfrontasi terbentuk dari kedekatan Mochtar
Lubis dengan Ivan Kats (penyambung lidah CCF Asia). Ivan Kats selalu
mewacanakan gagasan kebebasan sebagai bahan kajian untuk CCF Konfrontasi, lewat
Ivan Kats, Mochtar Lubis dan sekutunya memperoleh karya-karya yang disponsori
CCF dengan gagasan liberalisme seperti majalah, pamflet, dan karya sastra.
Misalnya, karya-karya penulis anti-komunis seperti Albert Camus dan Miguel de
Unamuno. Tokoh-tokoh lain yang terlibat dalam CCF Konfrontasi ini adalah
Goenawan Mohammad, Arif Budiman, Taufik Ismail hingga H.B. Jasin. Goenawan
Mohammad bahkan pernah mengakui ketika itu mereka sangat antusias membaca
buku-buku CCF dan menjualnya kembali (lewat Yayasan Pustaka Obor Indonesia).
Bermula dari CCF Konfrontasi, secara tidak
langsung melahirkan Manifesto Kebudayaan (Manikebu), Manikebu dideklarasikan
pada 17 Agustus 1963, didanai oleh CCF dan didukung oleh militer. Manikebu
sejatinya dibentuk untuk memberangus paham Komunisme lewat kebudayaan, yang
menjadi bagian politik global Amerika Serikat. Dalam berkesenian dan sastra,
Manikebu menganut paham Humanisme-Universal yang ekspresinya adalah seni, ya,
hanya untuk seni, bukan politik, jangan campurkan seni dengan politik. Hal
tersebut bertentangan dengan kelompok Komitmen Sosio Politik (mayoritas orang
kiri) dengan gagasan Sosialisme-Realis yang meyakini ‘seni untuk politik’, seni
memiliki landasan konkret kenyataan-objektif.
Pada BAB IV, karya Herlambang, terdapat analisis enam cerpen di
Horison sebagai salah satu produk kesenian yang melegitimasi anti-komunisme.
Enam cerpen tersebut, betajuk: Pada
Titik Kulminasi karya Satya Graha Hoerip, Perempuan
dan Anak-Anaknya, Gerson Poyk, Sebuah
Perjuangan Kecil, Sosrawan Nugroho, Maka
Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka Bumi, Julie Dahlan, Perang
dan Kemanusiaan Usamah, dan terakhir Ancaman yang
ditulis oleh Ugati. Keenam cerpen tersebut memiliki karakteristik pemaknaan
yang sama, salah satu contohnya dalam cerita Pada
Titik Kulminasi, menceritakan bahwa simpatisan Komunis yang menjadi korban
pembantaian PKI, merupakan suatu hal yang lumrah, seolah pembataian tersebut
sebagai pembersih dari dosa mendukung atau penganut paham komunisme.
Kekerasan Budaya Pasca 1965 Karya
Wijaya Herlambang, juga menyinggung karya film versi resmi Orde Baru yang
berjudul Pengkhianatan
G30S PKI yang dibuat oleh Arifin C. Noer dan dinovelkan oleh
Arsewendo. Gambar dalam film dan novel dibongkar ulang dan ditemukan cara-cara
menyusupkan pesan bahwa komunisme diidentikkan dengan kebiadapan. Itu semua
dibahas dalam BAB VI disertasi Wijaya Herlambang.
Pada Versi Resmi Orde Baru film Pengkhianatan
G30S PKI yang dibuat oleh Arifin C. Noer, dibahas dalam disertasi
Herlambang. Disebutkan bahwa status Arifin C. Noer yang memiliki hubungan dekat
dengan Jenderal Dwi Priatno sebagai ketua Perum Produksi Film Nasional (PPFN)
saat itu. Meskipun, menurut Goenawan Muhammad, Arifin C. Noer saat itu dipaksa
di bawah todongan senjata untuk membuat film G30S/PKI, informasi tambahan
tersebut memang tidak disebutkan dalam disertasi Wijaya Herlambang.
Selanjutnya dalam BAB VI yang isinya
"Analisis Film dan Novel", secara garis besar, Herlambang menarik
kesimpulan bahwa, produk kesenian yang melegitmasi anti-komunis lewat produk
kesenian narasi-narasi Orde Baru (film dan novel), digunakan sebagai perangkat
memutar fakta, mengkambing-hitamkan PKI dan memalaikatkan militer.
Analisis Herlambang berlanjut hingga ke BAB VII,
yang membahas "Lahirnya Gerakan Perlawanan". Menurut Herlambang,
faktor situasi ekonomi Soeharto melahirkan kelas menengah baru yang menjadi
aktivis (kontra Orde Baru) dan borjuis (pro Orde Baru). Gerakan perlawanan
lahir dari kelompok aktivis seperti PRD dan SMID.
Demikianlah pemaparan dari bedah buku dan diskusi, yang
difasilitasi oleh Joel, dengan beberapa kawan menambahakan dan berpendapat,
seperti peserta diskusi bernama Tri Suseno, yang membahas salah satu cepen
majalah Horison berjudul Karya
Pada Titik Kulminasi, Barra, yang menambahkan informasi soal apa hubungan
Manikebu/aliran humanisme-universal dengan pemikiran Albert Camus yang
dijadikan Ivan Kats sebagai batu pijak teoritik manikebuis (yang produksi
buku-bukunya diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia). Yoga Zarra,
menambahkan bagaimana karya itu lahir dalam situasi sosio-politik, sehingga
mendorong untuk menafsirkan karya jangan hanya berdasarkan tekstual.
Diskusi berjalan dinamis hingga petang.
Beberapa kesimpulan teoritik yang bisa dihubungkan dengan kenyataan konkret
tentu akan berharga. Kini, dalam menganalisa praktik kebudayaan, gagasan yang
ada di buku itu masih relevan digunakan menganalisa. Kebudayaan kita sedang
berjalan di atas ide normatif, dimana yang ekstra-normatif (tanpa penyelidikan)
dianggap tidak baik.
Kebudayaan Indonesia sebelum tahun 1965
mencapai tahap perkembangan yang begitu maju dalam seninya. Seni, sastra dan
perjuangan rakyat melawan kapitalisme berkelindan, ekspresinya adalah karya
seni yang membela kepentingan perjuangan melawan modal. Bukan "seni untuk
seni", melainkan, seni untuk perjuangan rakyat.
Dani Julio

Tidak ada komentar:
Posting Komentar