PembebasanBandung, 6 Juli 2017 - 6 Juli 1998, telah
terjadi pembantaian
terhadap Rakyat Papua di Kota Biak, tragedi ini kita kenal dengan sebutan Peristiwa Biak Berdarah. Tindakan
aparat Indonesia yang berlebihan terhadap Rakyat Papua yang mengibarkan bendera Bintang
Kejora secara damai, menurut laporan yang dibuat oleh Elsham bersama gereja
gereja yang ada di Papua, berakibat pada jatuhnya korban sebanyak 230 orang: 8 orang meninggal; 8
orang hilang; 4 orang luka berat dan dievakuasi ke Makasar; 33 orang ditahan
sewenang-wenang; 150 orang mengalami penyiksaan; dan 32 mayat misterius
ditemukan hingga terdampar di perairan Papua New Guinewa (PNG).
Kini, 19 tahun setelah Peristiwa Biak Berdarah berlalu, kasus ini menguap seperti asap, tak ada penyelesaiannya. Aparat Indonesia sebagai pelaku pembantaian melenggang bebas, jumlah mereka bahkan kian hari kian bertambah saja. Penambahan aparat terutama militer di tanah Papua tidak bisa ditutup-tutupi lagi, AMPNews mencatat, setidaknya ada 8-10 kompi tentara yang diturunkan di pelabuhan Manokwari menggunakan 3 kapal AL, bulan november tahun 2011 lalu. Kemudian disusul dengan penambahan Kodam Kasuari pemekaran dari Kodam Cendrawasih, diresmikan pada tanggal 18 Desember 2016 oleh Kasad Jendral TNI Mulyono.
Alih-alih
menyelesaikan kasus yang telah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, baik oleh
elemen masyarakat sipil maupun Pemerintah Indonesia sendiri, Pemerintah
Indonesia justru malah masih melakukan pendekatan militeristik kepada Rakyat
Papua yang jelas jelas pendekatan ini telah terbukti biang dari terjadinya
pelanggaran HAM di Papua.
Ini sama saja
dengan perlindungan terhadap pelaku palanggaran HAM sekaligus pelestarian budaya melanggar HAM oleh Aparat
Negara Indonesia. Indikasinya bisa dilihat dari semakin masifnya perampasan tanah-tanah adat, pemberangusan
kebebasan berserikat dan berpendapat dengan cara kriminalisasi, penculikan dan
pembunuhan terhadap para aktifis, terjadinya tragedi pembunuhan terhadap Rakyat sipil tidak bersalah: Wamena Berdarah (2000 dan 2003), Wasyor Berdarah (2001), Uncen Berdarah (2006), Nabire Berdarah (2012), Paniai berdarah (2014), dan masih banyak
lagi peristiwa-peristiwa yang memilukan yang sengaja tidak diselesaikan oleh Pemerintah
Indonesia karena sejatinya Pemerintah Indonesia adalah pelakunya.
***
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite
Bogor bersama Komite Rakyat Mengingat Biak Berdarah Bogor (KMBB-Bogor) pada hari ini (6/7) melakukan aksi turun ke jalan sebagai ikhtiar penyadaran terhadap massa luas agar peristiwa Biak Berdarah ini diketahui oleh massa seluas-luasnya. Dalam aksi ini, massa aksi juga mendesak Pemerintah menyelesaian kasus
Biak Berdarah.
Aksi dimulai pukul 9 pagi dengan titik
kumpul di Jalan Juanda, kemudian dilanjutkan dengan longmarch menuju Tugu Kujang. Selama longmarch peserta aksi bergantian
menyampaikan orasinya. Pada pukul 11.00 massa aksi sampai di Tugu Kujang,
orasi-orasi pun kemudian dilanjutkan.
Berikut kutipan-kutipan orasinya yang menarik:
"Imperialisme,
Kolonialisme dan Militerisme harus dihapuskan dari tanah West Papua sekarang
juga. Bahkan sampai ke ujung dunia dan daging terpisah dari tulangnya, bangsa
West Papua akan menuntut hak kemerdekaan!”, ujarnya salah seorang massa aksi yang berasal dari AMP Bogor, dia mengakhiri orasinya dengan
tangan kiri dikepal ke langit.
Selain orator yang berasal dari AMP Bogor, ada juga
orator dari salah seorang non-Papua yang tergabung dalam KMBB-Bogor. Habib,
biasa Ia dipanggil, dalam orasinya ia menyatakan bahwa kehadirannya dalam aksi
adalah sebagai bentuk solidaritas terhadap bangsa West Papua. “Pelanggaran
kemanusiaan terhadap Rakyat Papua oleh Militer Indonesia merupakan fakta yang memilukan dan hingga kini tak pernah ada jalan keluarnya di hadapan hukum".
Orasi dari Habib kemudian dipungkas dengan kalimat, "Persoalan bangsa
West Papua bukan persoalan (sektarian) orang Papua, ini merupakan kasus
kemanusiaan yang mesti dipahami sebagai masalah kita sebagai manusia. Fitrah manusia adalah merdeka. Maka, menentukan nasib
sendiri merupakan satu-satunya pilihan (yang) demokratis (bagi) bangsa West
Papua,"
Orasi Habib ini sekaligus jadi penutup aksi, kemudian, kordinator lapangan membacakan pernyataan sikap yang berisi tuntutan, tuntutannya terdiri dari 4
butir kalimat, berikut tuntutannya:
1. Negara bertanggungjawab atas tragedi Biak Berdarah 1998 yang telah menewaskan ratusan nyawa manusia dan Rentetan Pelanggaran HAM lainnya di Papua.
2. Buka ruang demokrasi seluas-luasnya dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Rakyat Papua sebagai Solusi Demokratis.
3. Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua.
4. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh dan MNC, dan perusahaan lainnya yang merupakan dalang kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah Papua.
Setelah membacakan pernyataan sikap, peserta aksi menyanyikan lagu Papua Bukan Merah Putih dengan serentak dan penuh semangat. Massa aksi membubarkan diri tepat pukul 12.00 siang. (Jarmat Hidayat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar