“Gagasan bahwa ketidaksetaraan jender itu ada secara alamiah dan tidak dapat dirubah didorong sebagai fakta-fakta ilmiah, namun sebaliknya, dalam kenyataan, hal itu merupakan bagian dari ideologi politik yang reaksioner. Hanya dengan cara menjelaskan sejarahnya serta memberi bukti-bukti ilmiah munculnya masyarakat manusia serta perkembangannya, semua mitos tersebut dapat dibongkar” (Pat Brewer)
Aku terkejut sekali waktu dia
bilang “dalam kondisi tidak setara pun peradaban manusia sudah
sebegini majunya, bayangkan jika antara kaum laki-laki dengan perempuan setara,
kemajuannya bisa lebih dari ini”. Aku lantas bertanya memangnya kenapa
dengan kaum perempuan dan laki-laki? Memangnya kenapa? Sederet pertanyaan pun
muncul akibat dari dilontarkannya pernyataan di atas kepadaku. Memangnya ada
ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan? Memangnya ketidaksetaraan
menghambat kemajuan peradaban umat manusia? Bukankah dunia ini baik-baik saja,
normal-normal saja? Kita hanya tinggal menjalaninya dengan telaten dan tidak
banyak bertanya.
Ibuku mencuci baju, piring dan mengasuh
adikku yang paling kecil di rumah. Ayahku pergi bekerja ke kantor. Adik
perempuanku ada yang sudah menikah ada yang masih sekolah. Dan banyak ibu
seperti itu, juga banyak adik perempuan dari seorang kakak laki-laki sudah
menikah atau dinikahkan. Dan aku sendiri sekolah di sebuah universitas. Sudah
begitu umumnya seorang ayah bekerja di luar rumah dan seorang ibu mengurusi
pekerjaan rumahan. Sudah begitu umumnya pula anak perempuan tidak lebih prioritas
dari seorang anak laki-laki dalam soal pendidikan. Dan itu biasa-biasa saja,
memang umumnya begitu.
Kemudian aku bersama teman laki-lakiku,
biasa saja, nongkrong di depan gedung kuliah dan menafsir-nafsir perempuan yang
lalu lalang. Ada perempuan yang memakai celana tipis dinamai celana legging,
lalu kita komentari besar kecil pantatnya, atau memakai baju super ketat
kemudian kita komentari payudaranya dan lain sebagainya dan lain sebagainya.
Pokoknya, perempuan yang tidak berdandan ala perempuan masa kini kita anggap
kurang menarik, kurang sexy dan kurang mempesona. Dengan kata lain, perempuan
itu bermakna sejauh mereka punya daya tarik seksual. Normal saja bukan jika
lelaki seperti itu, perempuan itu kan pelayan kebutuhan sex laki-laki maka dia harus
menarik?
Apa salahnya coba jika perempuan
diharuskan hanya mengurusi soal-soal rumahan, jika mereka menerimanya dengan
senang hati? Dan apa salahnya coba jika perempuan tak perlu pintar-pintar amat
dan tinggi-tinggi amat dalam berpendidikan, toh akhirnya ke kasur dan ke dapur
juga? Karena Perempuan harus menjadi penyedia kebutuhan dapur dan kasur
laki-laki, demi menjaga produktifitas laki-laki. Perempuan adalah makhluk
rumahan yang hanya punya arti sejauh dia telaten mengurus dan menata rumah. Juga
perempuan adalah makhluk lemah yang harus berada di bawah perlindungan
laki-laki, oleh karenanya tugas mereka yang pertama dan utama adalah
tugas-tugas ‘rumahan’.
Menurut kawanku yang melontarkan
pernyataan di paragraf awal, justru di sinilah masalahnya, asumsi kita tentang
perempuan begitu ‘tidak setara’. Perempuan diposisikan sebagai makhluk lemah
kemudian diisolasi ke ranah pekerjaan ‘individual’ semata, seperti mengasuh
anak, cuci piring, memasak dan lain sebagainya; sebut saja itu sebagai
pekerjaan rumahan. Sementara pekerjaan ‘sosial’ atau pekerjaan ‘luar rumah’
dianggap hanya sanggup diemban oleh laki-laki, karena hanya laki-lakilah yang
kuat; seperti mencari nafkah, berorganisasi, berpolitik, berpendidikan, dan
lain sebagainya. Seolah-olah itulah takdir biologis bagi perempuan dan bagi
laki-laki. Parahnya, hal itu diterima begitu saja baik oleh
laki-laki maupun perempuan. Bahkan, diinternalisasi oleh perempuan itu
sendiri, seolah-olah ketidaksetaraan perempuan atas laki-laki adalah takdir
biologis.
Harusnya pekerjaan rumah tangga adalah
pekerjaan individual yang bisa saja diemban oleh laki-laki atau bahkan
perempuan tergantung kesepakatan pembagian kerja diantara mereka. Alasan bahwa
tempat “alamiah” bagi perempuan yang pertama-tama dan yang paling utama dalam
keluarga adalah sebagai perawat suami dan anak, mendapatkan pembenaran di dalam
teori-teori determinis biologis (Kaum determinis-biologis berargumen bahwa
biologis kita tak sekadar membentuk tingkah laku (keberadaan) manusia, namun
juga menentukan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi (dalam masyarakat berkelas,
tentunya)), padahal teori-teori itu sangatlah lemah secara ilmiah. Dalam
bukunya “Dispossesion of
Women”, Pat Brewer menulis, “Tidak ada bukti yang mendukung
teori-teori determinis biologis, walau sebenarnya mereka pun tak terlalu
bersandar pada bukti-bukti.Teori-teori demikian itu ideologis...... Adanya
ideologi seperti determinasi biologis tersebut adalah untuk melayani
kepentingan sebuah kelas”.
Selanjutnya Pat Brewer menulis, “...bahwa ketidaksetaraan ras, etnik, kelas
dan, khususnya, jender, itu dikarenakan penyesuaian genetik individual. Para
penganutnya berargumen, misalnya, bahwa gen kita menentukan tingkah laku dan
hubungan-hubungan lelaki-perempuan―yang tujuannya sekadar untuk memaksimalkan
kesempatan-kesempatan menyukseskan reproduksi generasi mendatang. Itu artinya,
bahwa peranan jender, perkawinan, praktek-praktek hukum dan lembaga keluarga
merupakan turunan dari upaya untuk mereproduksi genetika. Teori-teori determinis
biologis seolah-olah memiliki keabsyahan ilmiah padahal, kenyataannya,
merupakan pandangan yang parsial dan distorsif―merupakan pembenaran bagi
ideologi status quo. Mereka berusaha membenarkan: bahwa sistim-sistim yang tak
adil dan menghisap itu tak bisa ditolak, tak terhindarkan, dan tak bisa diubah,
karena alamiah dan moralis”.
Maka domestikasi terhadap perempuan
bukanlah hal yang ‘alamiah’ oleh karenanya tak bisa diubah. Ada landasan
sejarah yang menyebabkan perempuan didomestikasi, oleh karena itu pula
pembebasan perempuan bukanlah hal yang utopis melainkan ilmiah. Lebih jauh lagi
bahkan F. Engels dalam “The
Origin of the Family, Private Property and the State”, menyodorkan
bukti-bukti ilmiah pada kita bahwa sebelum adanya kelas-kelas sosial yang didasarkan
pada relasi produksi (ekonomi), tugas-tugas rumahan seperti mengasuh anak dan
lain sebagainya tidaklah bermakna penyingkiran terhadap perempuan dari arena
produksi makanan utama atau tidaklah bermakna domestikasi (penjinakan),
melainkan pembagian kerja semata.
Aku jadi teringat kawanku, ia dan
istrinya sudah membebaskan diri dari kerangkeng kesadaran palsu tentang gender.
Kawanku ini lelaki, dia tidak bekerja mencari nafkah buat dirinya dan istri.
Pekerjaan dia adalah mengorganisir massa buruh dan tani, selebihnya melakukan
pekerjaan rumahan. Istrinyalah yang mencari nafkah, suatu ketika dia bertanya
pada istrinya “kamu gak keberatan kamu kerja sendirian?”, istrinya lalu
menjawab “kok kamu masih mempersoalkan siapa yang harus kerja”.
Kerja-kerja rumahan yang diidentikan
dengan kerja wajib kaum perempuan sebelum adanya kepemilikan individual,
tidaklah berarti domestikasi perempuan. F. Engels melalui Morgan menemukan
bahwa domestikasi perempuan baru muncul sesudah kepemilikan beralih dari
komunal ke individual, tepatnya di zaman Barbarisme. Zaman ini dicirikan dengan kegiatan memproduksi makanan melalui
holtikultura dan peternakan. Morgan membagi fase kehidupan umat manusia
ke dalam tiga fase, yaitu: Zaman Kebuasan (tak beradab), Zaman Barbarisme, dan
Zaman Peradaban. Di zaman kedualah ketidaksetaraan gender mulai muncul dan
berkembang sepenuhnya di zaman Peradaban.
Sayangnya, menurut Pat Brewer, Engels
masih belum bisa menjelaskan bagaimana peternakan yang semula dimiliki secara
komunal oleh klan atau suku berubah menjadi milik individu laki-laki yang
menjadi kepala rumah tangga. Mengenai hal ini akan aku bahas di artikel
selanjutnya. Sebagai penutup mari kita resapi pernyataan Lenin berikut ini “Hari
ini, masyarakat kapitalis menyembunyikan, di dalam dirinya sendiri, banyak
kasus kemiskinan dan penindasan yang tidak kasat mata. Penyebaran keluarga
miskin di perkotaan, pengrajin, buruh, karyawan dan pekerja rendahan hidup
dalam kesulitan yang luar biasa, nyaris tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya. Jutaan demi jutaan Perempuan di keluarga tersebut hidup sebagai “budak
domestik”, bekerja keras untuk memenuhi pangan dan sandang keluarga mereka
dengan sangat hemat, menggunakan biaya dari upaya kerasnya dan menyimpan biaya
tersebut untuk segalanya, kecuali tenaga kerjanya sendiri” (‘Vladimir Lenin, 1913, Collected Works : Capitalism and
Female Labour, Pravda, Moscow’, dikutip dalam Krisis Ekonomi Dunia : Krisis
Rakyat Miskin, Krisis Perempuan Miskin).
Referensi:
- Hasil diskusi dengan kawan Pembebasan
Bandung
- Pat Brewer “Dispossesion of Women”
- F. Engels dalam “The Origin of the Family, Private
Property and the State”
- Linda Sudiono “Krisis Ekonomi Dunia : Krisis
Rakyat Miskin, Krisis Perempuan Miskin”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar