Massa aksi Hari Tani Nasional yang tergabung dalam Jaringan Massa Rakyat Pejuang Agraria (JMRPA) di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (25/09). Foto: Atang Atang. |
PembebasanBandung, 26 September 2017—Halaman depan Gedung
Sate, Bandung, diramaikan oleh aksi memperingati Hari Tani Nasional yang dilakukan
Jaringan Massa Rakyat Pejuang Agraria (JMRPA), Senin (25/09) siang. JMRPA terdiri
dari beragam elemen mahasiswa, komunitas, serta rakyat korban konflik agraria
di Kota Bandung, seperti warga Kebon Jeruk dan Dago Elos.
Aksi dimulai pukul 11.00 WIB. Aksi diawali dengan short march dari Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI) Kota Bandung menuju Gedung Sate. “Indonesia Darurat Agraria,
Jawa Barat Darurat Agraria” menjadi tema besar yang mereka usung.
Dalam aksi ini banyak diangkat beragam kasus konflik
agraria yang terjadi di Indonesia. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris,
nyatanya banyak menelantarkan nasib kaum tani dan kaum miskin kota. Banyak
sawah dialihfungsikan menjadi kawasan industri, perumahan, dan pertambangan.
Selain itu di kota besar banyak pemukiman rakyat yang
digusur guna kepentingan korporasi yang bergerak di bidang properti dan jasa. Dalam
kurun lima tahun terakhir, telah terjadi tiga penggusuran di Kota Bandung. Di
antaranya penggusuran di Kebon Waru, Kampung Kolase, dan Kebon Jeruk. Bahkan kawasan
Dago Elos pun terancam akan digusur. Lebih dari 300 lebih kepala keluarga
terancam akan kehilangan rumah dan mata pencahariannya.
Dalam orasinya, Faris, koordinator lapangan aksi ini, menjelaskan
bahwa meski sudah lebih dari 50 tahun Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
disahkan, masih banyak petani yang kehidupannya serba kekurangan dan merana
akibat ketimpangan penguasaan lahan. Bukan hanya itu, rumah-rumah rakyat
digusuri dengan dalih menata keindahan kota.
Yuli, salah seorang warga Kebon Jeruk yang digusur PT
KAI, mengajak semua orang untuk bersatu melawan setan tanah.
"Tahun lalu rumah kami digusur, tapi kami melawan
dan menang. Kami melakukan banyak aksi massa dibantu oleh kawan-kawan mahasiswa
sampai sekarang. Jadi jangan takut, terus melawan, dan mempertahankan hak!"
teriak Yuli saat diberi kesempatan berorasi.
Sementara itu Buli Ju, salah seorang peserta aksi dari organisasi
mahasiswa Pembebasan KK Bandung, menjelaskan bahwa ada tiga musuh rakyat yang
menyebabkan banyak konflik agraria terjadi. Mereka adalah kapitalisme, militerisme,
dan sisa feodalisme.
"Tidak mungkin melawan perampasan tanah tanpa mengetahui
akar masalahnya. Dan akar masalah tersebut tentu saja kapitalisme, yang hanya
menghendaki akumulasi bahkan sampai bisa menyingkirkan manusia. Lalu militer, sebab
sudah jelas sekali bahwa dalam setiap konflik agraria, pemerintah bersama korporasi
menggunakan kekuatan militer untuk menjadi garda terdepan melawan rakyat. Maka
melawan kapitalisme berkesinambungan dengan perjuangan melawan militerisme,"
papar Buli.
Meski diselingi guyuran hujan, aksi tetap berjalan
semarak, ditambah dengan kehadiran rakyat Dago Elos yang mayoritas terdiri dari
kaum perempuan. Rakyat Dago Elos datang seusai memasukan permohonan banding
atas kasus sengketa lahan yang menimpa mereka.
Aksi berjalan dengan lancar hingga saat pembacaan
pernyataan sikap JMRPA. Pernyataan sikap yang dibacakan Nurhidayat dari FMN
Bandung memuat enam tuntutan. Di antaranya: 1) Wujudkan reforma agraria sejati;
2) Hentikan kriminalisasi-kriminalisasi terhadap aktivis rakyat; 3) Hentikan
perampasan tanah-tanah rakyat; 4) Hentikan monopoli tanah yang saat ini terjadi;
5) Hentikan penggusuran-penggusuran ruang hidup rakyat; 6) Hentikan
pemberangusan organisasi-organisasi rakyat atas nama Perppu Ormas.
wah saya terinspirasi setelah baca tulisan tentang bandung ini. terimakasih ya
BalasHapus