Beberapa bulan yang lalu tepatnya 14
Oktober 2016 terjadi unjuk rasa di lokasi pengerjaan proyek pembangunan
perumahan milik PT Dharmaprasetia Cipta Graha, dilakukan oleh massa Rakyat RW
12 kampung Cidadap Padalarang. Unjuk rasa saat itu dilakukan karena warga
sekitar proyek tak pernah sekalipun diajak bermusyawarah dan dimintai
pendapatnya dalam perencanaan pembangunan perumahan yang diprakarsai
perusahaan.
Enam bulan berselang, perusahaan membuat
ulah di RW 11 kampung Kepuh, Padalarang, dengan menutup akses jalan warga Kepuh
dari RT 1 ke RT 2 masih di RW 11. Penutupan akses jalan ini dilakukan pada
tanggal 27 Maret 2017. Setelah sebelumnya warga RW 11 menolak penambahan alat
berat oleh perusahaan, tertanggal 3 Maret 2017, karena alat berat ini akan digunakan
untuk memperlancar operasi penutupan jalan lainnya yang menghubungkan RW 11 -12
ke RW 26.
Jalan penghubung RW 12 dan 11 menuju ke
RW 26 serta jalan satu satunya masuk dan keluar rumah Angga pun terancam
ditutup. Rencana penutupan jalan yang menghubungkan antara RW 11 dan 12 menuju
RW 26 sudah disampaikan pihak pengembang melalui surat kepada ketua RW 11.
Adapun rencana penutupan jalan masuk dan keluar rumah Angga sudah disampaikan
pihak pengembang kepada Angga pada tanggal 17 Maret 2017 oleh bapa H. Tantan
selaku penanggungjawab proyek pembangunan perumahan.
Baik warga RW 12 maupun RW 11 sudah
melakukan mediasi dengan pihak pengembang. Warga RW 12 melakukan mediasi dengan
pihak pengembang tak lama setelah unjuk rasa dilakukan, tepatnya Minggu 16
Oktober 2016 bertempat di Madrasah Ibtidaiyah al Mujtahidin, Cidadap. Salah
satu point utama yang disuarakan oleh massa Rakyat, yaitu bangun Drainase yang
melintasi RW 13, 12, 11, 10, 9, 8. Drainase disuarakan karena warga menilai
pembangunan perumahan di lereng bukit dengan kemiringan sekitar 45 derajat ini
dikhawatirkan akan menyebabkan larian air hujan dari bukit debitnya bertambah
besar sehingga menyebabkan genangan di pemukiman warga yang letaknya berada di
bawah lahan proyek perumahan. Sedangkan saluran air yang ada begitu kecil dan
saling tak tersambung. Namun beberapa bulan setelahnya apa yang disuarakan
warga RW 12 tak kunjung direalisasikan hingga kini.
Begitu pun dengan RW 11, mediasi pasca
penolakan alat berat tepatnya tanggal 25 Maret 2017 dilakukan di kantor
pengembang, juga tak kunjung direalisasikan. Salah satu point utama yang
disuarakan oleh warga RW 11 yaitu jangan tutup akses jalan warga. Faktanya
akses jalan warga yang ada malah ditutup.
Dari sini terlihat ada penyingkiran
warga dari proses pembangunan. Alih alih diposisikan sebagai mitra pembangunan,
warga sekitar malah disingkirkan, hak haknya diberangus. Padahal warga sekitar
sangatlah berkepentingan dalam pembangunan ini, siapa lagi yang akan merasakan
dampaknya jika bukan warga sekitar, oleh karenanya telah disebutkan dalam
berbagai macam aturan yang dibuat pemerintah, minimal ada dua aspek pokok dalam
pembangunan yang diinisiasi pemrakarsa kepada masyarakat sekitar pembangunan,
dari mulai perencanaan, perizinan, atau pun setelahnya (saat penyelenggaraan
pembangunan). Diantaranya akses informasi dan akses partisipasi, “dalam setiap
tahapan dan waktu penyelenggaraan perizinan, masyarakat berhak mendapatkan
akses informasi dan akses partisipasi (Ayat 74 dalam Perda KBB No. 8 Tahun
2011).
Yang lebih dasar lagi. Di level
penyusunan IMB saja warga mesti dilibatkan (Perda KBB No. 8 Tahun 2011
berbicara dalam konteks Izin Mendirikan Bangunan (IMB)), apalagi di level
penyusunan dokumen lingkungan. Dokumen lingkungan adalah salah satu syarat
utama apabila perusahaan ingin beroleh IMB. Berikut adalah aturan aturan yang
mengatakan wajibnya masyarakat terlibat dalam penyusunan dokumen lingkungan :
1). UU No 32 Tahun 2009 tentang PPLH, 2). PP No 27 Tahun 2012 tetang Izin
Lingkungan, 3). PermenLH No 5 tahun 2012 Tentang Jenis Usaha/Kegiatan Wajib
Amdal, 4). Permen LH No 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen
Lingkunga Hidup , 5). PermenLH No 17 Tahun 2012 Tentang Pedoman Keterlibatan
Masyarakat dalam Proses Amdal dan Izin LH. Ya, aturan aturan ini pun berbunyi
kurang lebih sama, yaitu dalam penyusunan AMDAL atau dokumen lingkungan
lainnya, masyarakat berhak atas akses informasi dan akses partisipasi.
Tujuan besarnya tiada lain adalah agar
pembangunan ini tidak menyengsarakan Rakyat. Juga masyarakat mendapatkan
informasi mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan; Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau
tanggapan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan; Masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan
terkait dengan rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan atas rencana usaha
dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan; Masyarakat dapat
menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas proses izin lingkungan.
Sudah jelas, peran serta masyarakat dalam proses pembangunan dari mulai
perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan adalah hal yang semestinya. Dan yang
perlu diingat, dalam hak masyarakat memperoleh akses partisipasi disebutkan
bahwasannya warga berhak melakukan pemantauan dan pengawasan serta menyuarakan
pendapatnya. Namun justru yang terjadi sebaliknya, ialah warga disingkirkan dan
hak haknya tak dipenuhi perusahaan.
Di luar itu semua yang tak kalah penting
adalah fakta fakta temuan WALHI Jabar dalam dokumen lingkungan milik PT
Dharmaprasetia Cipta Graha terindikasi cacat prosedur dan tak patuh hukum.
Kajian terhadap dokumen lingkungan milik perusahaan ini dilakukan Walhi Jabar
atas permintaan warga. Dari dokumen UPL UKL Tahun 2013 milik perusahaan, Walhi
Jabar menilai: 1). Adanya Indikasi pelanggaran prosedur perizinan pembangunan
dan lingkungan hidup dan kejelasan hak atas tanah. Pembangunan belum dilengkapi
surat-surat perizinan lingkungan dan bangunan sebagaimana aturan
perundang-undangan yang berlaku. 2). Tidak dibuat dokumen AMDAL, dokumen
lingkungan melalui UKL-UPL dibuat secara parsial. 3). Ada indikasi tanah /lahan
perumahan masih bermasalah dari kepastian hukum administrasi pertanahan. 4).
Seharusnya ada kajian AMDAL baru bukan menggunakan UKL-UPL tahun 2007. 5).
Pembuatan dokumen UKL-UPL tidak partisipatif, tidak melibatkan warga yang
terkena dampak langsung dan tidak langsung.
Maka dari itu, kami atas nama Komite Rakyat Sadar Hak
yang di dalamnya terdiri dari berbagai macam elemen warga dari lintas RW, dari
mulai RW 8, 9, 10, 11, 12, 13, 26 menuntut perusahaan untuk:
1. Bangun
Drainase, saluran air yang akan menampung air larian dari perumahan yang sedang
dikerjakan, di sepanjang RW 13 hingga RW 8.
2. Buka
akses jalan warga (RW 11, 12, dan 26) yang telah ditutup perusahaan dan jangan
tutup akses jalan warga yang telah ada jauh sebelum proyek pembangunan
perumahan dikerjakan.
3. Buat
kajian AMDAL baru bukan menggunakan UKL-UPL tahun 2007, setelah dibuat kajian
AMDAL baru lampirkan dokumen dokumen berikut ini di dalam dokumen lingkungan
yang baru: Dokumen surat IMB, Dokumen Surat Izin Gangguan, Dokumen Akta Tanah,
Dokumen izin pengambilan air tanah atau
air permukaan.
4. Hentikan
pembangunan perumahan sebelum tuntutan 1, 2, 3 dipenuhi.
Bandung, 4 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar