Pers Rilis Komite Rakyat Sadar Hak

Aksi mimbar bebas dan membenteng jalan masuk ke lokasi poyek pembangunan perumahan milik PT Dharmaprasetia Cipta Graha dilakukan warga dari tujuh RW, diantaranya RW 9, 10, 11, 12, 13, 21, 26, desa Padalarang, kec. Padalarang, kab. Bandung Barat. Mereka menamakan diri Komite Rakyat Sadar Hak (Sabtu, 7 April 2017). Aksi ini dilakukan warga setelah seminggu sebelumnya pengembang menutup akses jalan warga dan pemicu lainnya adalah tak dilibatkannya warga dalam pembangunan dari mulai perencanaan sampai pembangunan, selain itu juga warga menilai pengembang tak mengantongi sejumlah izin yang diperlukan.
Dok. foto: Zulfi SJ


Beberapa bulan yang lalu tepatnya 14 Oktober 2016 terjadi unjuk rasa di lokasi pengerjaan proyek pembangunan perumahan milik PT Dharmaprasetia Cipta Graha, dilakukan oleh massa Rakyat RW 12 kampung Cidadap Padalarang. Unjuk rasa saat itu dilakukan karena warga sekitar proyek tak pernah sekalipun diajak bermusyawarah dan dimintai pendapatnya dalam perencanaan pembangunan perumahan yang diprakarsai perusahaan.

Enam bulan berselang, perusahaan membuat ulah di RW 11 kampung Kepuh, Padalarang, dengan menutup akses jalan warga Kepuh dari RT 1 ke RT 2 masih di RW 11. Penutupan akses jalan ini dilakukan pada tanggal 27 Maret 2017. Setelah sebelumnya warga RW 11 menolak penambahan alat berat oleh perusahaan, tertanggal 3 Maret 2017, karena alat berat ini akan digunakan untuk memperlancar operasi penutupan jalan lainnya yang menghubungkan RW 11 -12 ke RW 26.

Jalan penghubung RW 12 dan 11 menuju ke RW 26 serta jalan satu satunya masuk dan keluar rumah Angga pun terancam ditutup. Rencana penutupan jalan yang menghubungkan antara RW 11 dan 12 menuju RW 26 sudah disampaikan pihak pengembang melalui surat kepada ketua RW 11. Adapun rencana penutupan jalan masuk dan keluar rumah Angga sudah disampaikan pihak pengembang kepada Angga pada tanggal 17 Maret 2017 oleh bapa H. Tantan selaku penanggungjawab proyek pembangunan perumahan.

Baik warga RW 12 maupun RW 11 sudah melakukan mediasi dengan pihak pengembang. Warga RW 12 melakukan mediasi dengan pihak pengembang tak lama setelah unjuk rasa dilakukan, tepatnya Minggu 16 Oktober 2016 bertempat di Madrasah Ibtidaiyah al Mujtahidin, Cidadap. Salah satu point utama yang disuarakan oleh massa Rakyat, yaitu bangun Drainase yang melintasi RW 13, 12, 11, 10, 9, 8. Drainase disuarakan karena warga menilai pembangunan perumahan di lereng bukit dengan kemiringan sekitar 45 derajat ini dikhawatirkan akan menyebabkan larian air hujan dari bukit debitnya bertambah besar sehingga menyebabkan genangan di pemukiman warga yang letaknya berada di bawah lahan proyek perumahan. Sedangkan saluran air yang ada begitu kecil dan saling tak tersambung. Namun beberapa bulan setelahnya apa yang disuarakan warga RW 12 tak kunjung direalisasikan hingga kini.

Begitu pun dengan RW 11, mediasi pasca penolakan alat berat tepatnya tanggal 25 Maret 2017 dilakukan di kantor pengembang, juga tak kunjung direalisasikan. Salah satu point utama yang disuarakan oleh warga RW 11 yaitu jangan tutup akses jalan warga. Faktanya akses jalan warga yang ada malah ditutup.

Dari sini terlihat ada penyingkiran warga dari proses pembangunan. Alih alih diposisikan sebagai mitra pembangunan, warga sekitar malah disingkirkan, hak haknya diberangus. Padahal warga sekitar sangatlah berkepentingan dalam pembangunan ini, siapa lagi yang akan merasakan dampaknya jika bukan warga sekitar, oleh karenanya telah disebutkan dalam berbagai macam aturan yang dibuat pemerintah, minimal ada dua aspek pokok dalam pembangunan yang diinisiasi pemrakarsa kepada masyarakat sekitar pembangunan, dari mulai perencanaan, perizinan, atau pun setelahnya (saat penyelenggaraan pembangunan). Diantaranya akses informasi dan akses partisipasi, “dalam setiap tahapan dan waktu penyelenggaraan perizinan, masyarakat berhak mendapatkan akses informasi dan akses partisipasi (Ayat 74 dalam Perda KBB No. 8 Tahun 2011).

Yang lebih dasar lagi. Di level penyusunan IMB saja warga mesti dilibatkan (Perda KBB No. 8 Tahun 2011 berbicara dalam konteks Izin Mendirikan Bangunan (IMB)), apalagi di level penyusunan dokumen lingkungan. Dokumen lingkungan adalah salah satu syarat utama apabila perusahaan ingin beroleh IMB. Berikut adalah aturan aturan yang mengatakan wajibnya masyarakat terlibat dalam penyusunan dokumen lingkungan : 1). UU No 32 Tahun 2009 tentang PPLH, 2). PP No 27 Tahun 2012 tetang Izin Lingkungan, 3). PermenLH No 5 tahun 2012 Tentang Jenis Usaha/Kegiatan Wajib Amdal, 4). Permen LH No 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkunga Hidup , 5). PermenLH No 17 Tahun 2012 Tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Amdal dan Izin LH. Ya, aturan aturan ini pun berbunyi kurang lebih sama, yaitu dalam penyusunan AMDAL atau dokumen lingkungan lainnya, masyarakat berhak atas akses informasi dan akses partisipasi.

Tujuan besarnya tiada lain adalah agar pembangunan ini tidak menyengsarakan Rakyat. Juga masyarakat mendapatkan informasi mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan; Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan; Masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan; Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas proses izin lingkungan. Sudah jelas, peran serta masyarakat dalam proses pembangunan dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan adalah hal yang semestinya. Dan yang perlu diingat, dalam hak masyarakat memperoleh akses partisipasi disebutkan bahwasannya warga berhak melakukan pemantauan dan pengawasan serta menyuarakan pendapatnya. Namun justru yang terjadi sebaliknya, ialah warga disingkirkan dan hak haknya tak dipenuhi perusahaan.

Di luar itu semua yang tak kalah penting adalah fakta fakta temuan WALHI Jabar dalam dokumen lingkungan milik PT Dharmaprasetia Cipta Graha terindikasi cacat prosedur dan tak patuh hukum. Kajian terhadap dokumen lingkungan milik perusahaan ini dilakukan Walhi Jabar atas permintaan warga. Dari dokumen UPL UKL Tahun 2013 milik perusahaan, Walhi Jabar menilai: 1). Adanya Indikasi pelanggaran prosedur perizinan pembangunan dan lingkungan hidup dan kejelasan hak atas tanah. Pembangunan belum dilengkapi surat-surat perizinan lingkungan dan bangunan sebagaimana aturan perundang-undangan yang berlaku. 2). Tidak dibuat dokumen AMDAL, dokumen lingkungan melalui UKL-UPL dibuat secara parsial. 3). Ada indikasi tanah /lahan perumahan masih bermasalah dari kepastian hukum administrasi pertanahan. 4). Seharusnya ada kajian AMDAL baru bukan menggunakan UKL-UPL tahun 2007. 5). Pembuatan dokumen UKL-UPL tidak partisipatif, tidak melibatkan warga yang terkena dampak langsung dan tidak langsung.

Maka dari itu, kami atas nama Komite Rakyat Sadar Hak yang di dalamnya terdiri dari berbagai macam elemen warga dari lintas RW, dari mulai RW 8, 9, 10, 11, 12, 13, 26 menuntut perusahaan untuk:

1.      Bangun Drainase, saluran air yang akan menampung air larian dari perumahan yang sedang dikerjakan, di sepanjang RW 13 hingga RW 8.

2.      Buka akses jalan warga (RW 11, 12, dan 26) yang telah ditutup perusahaan dan jangan tutup akses jalan warga yang telah ada jauh sebelum proyek pembangunan perumahan dikerjakan.

3.      Buat kajian AMDAL baru bukan menggunakan UKL-UPL tahun 2007, setelah dibuat kajian AMDAL baru lampirkan dokumen dokumen berikut ini di dalam dokumen lingkungan yang baru: Dokumen surat IMB, Dokumen Surat Izin Gangguan, Dokumen Akta Tanah, Dokumen izin pengambilan air tanah atau air permukaan.

4.      Hentikan pembangunan perumahan sebelum tuntutan 1, 2, 3 dipenuhi.


Bandung, 4 April 2017


PEMBEBASAN Bandung

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar