Ilustrasi: syncreticstudies.com |
Oleh Arundhati
Roy*
Penerjemah Dwicipta**
Ancaman
yang tengah dihadapi oleh gerakan-gerakan massa adalah LSM-isasi perlawanan.
Mudah saja membelokkan apa yang akan saya paparkan sebagai tuduhan untuk semua
LSM. Ini tentu sebuah kekeliruan. Di tengah suramnya situasi yang dijejali oleh
LSM-LSM palsu yang mengatur atau menyedot uang bantuan, atau berusaha
menghindar dari tuntutan pajak (di negara bagian seperti Bihar,[1] mereka
diberi uang sebagai mahar), tetap ada LSM-LSM yang menjalankan pekerjaan dengan
baik. Namun, penting pula mempertimbangkan fenomena LSM dalam konteks politik
yang lebih luas.
Di
India, misalnya, ledakan pertumbuhan LSM yang didanai asing bermula pada akhir
1980-an dan 1990-an. Ini bertepatan dengan dibukanya pasar India pada
neoliberalisme. Waktu itu, negara India, demi menyesuaikan diri dengan
persyaratan-persyaratan Program Penyesuaian Struktural,[2] mencabut subsidi di
bidang pembangunan pedesaan, pertanian, energi, transportasi, dan kesehatan
masyarakat. Ketika negara melepaskan peran tradisionalnya itulah LSM-LSM masuk
dan bekerja di bidang-bidang yang tak lagi dikerjakan negara. Bedanya, tentu
saja, dana-dana yang tersedia untuk mereka hanya secuil dari anggaran untuk
pembiayaan publik yang nyata digorok oleh negara.
Sebagian
besar LSM berkocek tebal dibiayai dan berpatron pada hibah badan-badan
pembangunan dan lembaga donor yang sejatinya dibiayai oleh negara-negara Barat,
Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan korporasi multinasional. Walau
barangkali bukan lembaga yang sepenuhnya sama, pada dasarnya mereka bagian dari
formasi politik yang sama yang mengatur proyek neoliberal dan agenda utamanya
adalah menuntut pemangkasan subsidi pemerintah.
Mengapa
badan-badan tersebut membiayai LSM? Bisakah kita secara sederhana mengatakannya
sebagai kedok misionaris gaya lama? Atau karena rasa bersalah? Pertimbangannya
lebih dari itu semua. LSM memberi kesan bahwa mereka tengah mengisi ruang
kosong yang diciptakan oleh sebuah negara yang sedang rapuh, tapi hal itu
dilakukan dengan cara yang ngawur.
Sumbangan nyata mereka adalah melepaskan sumbu peledak dan membagi-bagikan
bantuan atau kemurahan hati kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka
mengubah jiwa dan perasaan masyarakat umum. Mereka menyulap orang-orang menjadi
korban yang manja dan menumpulkan bagian yang tajam dari perlawanan politik.
LSM membentuk sejenis penyangga antara sarkar(penguasa
atau negara) dan publik. Antara imperium dan subjek. Mereka telah menjadi
wasit, penafsir, dan fasilitator.
Dalam
jangka panjang, LSM-LSM ini dapat bertanggung jawab pada pendonornya, tapi
tidak pada orang yang menjadi objek kerjanya. Mereka menjadi apa yang oleh para
ahli botani disebut sebagai spesies indikator.[3] Fenomenanya hampir
beriringan, di mana makin besar kerusakan yang diciptakan oleh neoliberalisme,
maka makin besar pula wabah LSM di tempat itu. Tak ada yang bisa
menggambarkannya dengan lebih pedih selain fenomena ketika Amerika Serikat
bersiap menginvasi sebuah negara dengan cara menyiapkan LSM untuk masuk dan
memuluskan penghancuransecara berkelanjutan. Untuk memastikan pendanaan mereka
tak dihalangi dan pemerintahan negara di mana mereka beroperasi akan
mengizinkan mereka bekerja, LSM tersebut harus menyajikan pekerjaan mereka
dalam kerangka yang dangkal dan sedikit-banyak dipisahkan dari konteks politik
atau historisnya. Kebanyakan adalah konteks historis atau politik yang
kontroversial.
Laporan-laporan
yang apolitis mengenai situasi sulit (dan karena itu sebenarnya sangat politis)
di negara-negara miskin dan zona-zona perangakhirnya membuat orang-orang dari
negara itu tampak seperti para korban yang mengidap patologi. Orang-orang India
kurang gizi, orang-orang Etiopia masih menderita kelaparan, para pengungsi
Afghanistan di tenda-tenda pengungsian, dan orang-orang Sudan menderita. Mereka
membutuhkan uluran tangan orang kulit putih. Tanpa disadari, mereka memaksakan
stereotipe rasial dan menguatkan kembali capaian, kenyamanan, dan hasrat (cinta
yang jahat) Barat. Merekalah misionaris-misionaris sekuler di dunia modern.
Akhirnya—pada
skala yang lebih kecil, tapi lebih licik—modal yang disediakan untuk LSM
merupakan modal yang sifatnya untung-untungan, yang mengalir masuk-keluar dalam
perekonomian negara-negara miskin.Peran serupa dimainkan dalam kancah politik
alternatif. LSM memulainya dengan memaksakan agenda. Ia mengubah konfrontasi
menjadi negosiasi. Ia mendepolitisasi perlawanan. Ia bercampur-baur dengan
gerakan masyarakat lokal yang secara tradisional bersifat mandiri. LSM-LSM
memiliki cukup dana untuk mempekerjakan orang lokal yang bisa menjadi aktivis
dalam gerakan perlawanan, tapi kini merasakan bahwa ia sedang mengerjakan
hal-hal yang secara kreatif langsung menghasilkan (dan memperoleh penghidupan
ketika mereka terlibat di dalamnya).
Perlawanan
politik yang nyata tak pernah menawarkan jalan pintas. LSM-isasi politik tengah
mengancam; mengubah perlawanan menjadi pekerjaan yang rapi, masuk akal,
bergaji, dan memiliki jam kerja dari pukul 9 pagi sampai 5 sore. Dengan
beberapa tambahan kerja yang dilolohkan pada mereka. Perlawanan nyata memiliki
konsekuensi-konsekuensi nyata. Dan tidak bergaji. []
*Penulis
buku Capitalism:
A Ghost Story dan peraih Booker Prize for Fiction pada 1997
untuk novelnya yang berjudul The
God of Small Things
**Diterjemahkan
oleh Dwicipta (dengan tambahan catatan kaki oleh Lubabun Ni’am) dari artikel
yang ditulis oleh Arundhati Roy dengan judul “NGO-ization of Resistance”.
Artikel ini dimuat di laman Massalijn yang berbasis di Belanda. Untuk menyimak
artikel dalam versi bahasa Inggris, silakan kunjungi tautan berikut: http://massalijn.nl/new/the-ngo-ization-of-resistance/
[1]
Bihar merupakan salah satu dari dua puluh delapan negara bagian di India,
terletak di India bagian utara. Bihar menjadi pusat kekuasaan politik dan
budaya pada masa India kuno.
[2]
Program Penyesuaian Struktural awalnya didesain dan didanai oleh International
Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, yang kemudian diadopsi oleh lembaga-lembaga
keuangan internasional lainnya. Program ini menyapu negara-negara berkembang
sejak 1980-an. Lihat Gilbert Rist, The
History of Development: From Western Origins to Global Faith (London:
Zed Books, 2008), hal. 171–178.
[3]
Spesies indikator adalahspesies yang berkaitan erat dengan komunitas
hayatirentan maupun proses ekosistemunik. Di Indonesia, misalnya, contoh
spesies indikator adalah elang jawa, binatang yang dikenal sebagai pemangsa
puncak di hutan-hutan di Pulau Jawa. Lihat Mochamad Indrawan, Richard B.
Primack, dan Jatna Supriatna, Biologi
Konservasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 304.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar