Rata dengan Tanah

Salah satu warga korban penggusuran yang dilakukan PT KAI
di kelurahan Kebon Jeruk, kec. Andir saat sedang melakukan
demonstrasi di depan gedung DPRD Kota Bandung.
Malam ini hujan deras membasahi kota Bandung. Warga kelurahan Kebon belakang, Stasiun Barat harus rela menahan dinginnya malam. Di bawah tenda posko bantuan, warga berlindung dari tetesan air hujan. Anak-anak kecil tidur hanya beralaskan kain sarung dan diselimuti peluk oleh ibunya.

Rabu, sekitar jam 11 siang tiba-tiba saja warga di kagetkan oleh kedatangan 1500 polisi bersama sebuah mobil water cannon, dan alat eskavator, tanpa adanya surat pemberitahuan tiba-tiba saja rumah mereka akan dieksekusi. Warga kaget dan langsung berhamburan keluar rumah. Anak-anak kecil menangis ketakutan.

Ary salah satu pemuda karang taruna,berlari menghampiri seorang petugas, ia bertanya, “kenapa rumah kami mau dihancurkan, pak? Atas dasar apa?”

“ini bukan tanah milik kalian, ini merupakan tanah milik PT. Kereta Air” ujar petugas tersebut.

“Ini tanah milik pemerintah, pak. Kami sudah mendapatkan ijin tinggal di sini dari Pemda, dan setiap tahun kami selalu membayar Pajak Bumi Bangunan”

“Ini bukti sertifikat tanahnya” petugas tersebut menunjukkan sebuah sertifikat tanah.

“Disini tertulis jelas, pak, ini sertifikat tanah kelurahan jalan besar, bukan kebon belakang.” Ujar Ary sambil menunjuk muka petugas tersebut.
Tanpa menjawab apa-apa petugas tersebut pergi meninggalkan Ary.

“Jdaaaaaaaaaaar” terdengar bunyi bangunan runtuh.
Salah satu ibu berteriak, sambil menangis, ia berkata, “jangan dihancurkan, pak. Ini rumah saya. Apakah cuma anggota dewan saja yang berhak punya rumah?”

Ary yang saat itu merasa gusar, berlari menuju kerumunan warga.

“Ini tidak bisa dibiarkan. Ayo, kita hentikan!” teriak Ary

Warga pun bersatu mencoba menghentikan proses eksekusi. Namun baru sekitar lima kali lemparan batu warga maju, barikade polisi telah menghentikan langkah warga. Ary yang saat itu merasa kesal, meninjukan tangan kirinya ke langit dan berteriak “Lawan!”. Para warga yang mendengar teriakkan Ary seperti mendapatkan bola semangat darinya. Walaupun jumlah warga hanya 163 orang, namun warga tak gentar sedikitpun untuk menghadapi ribuan polisi yang menghadang. Baku hantam pun terjadi. Dengan semangat yang menggebu-gebu warga menghantam barikade polisi dan membuat kewalahan para polisi. Sampai pada akhirnya, water cannon di tembakkan. Para perempuan yang ikut berjuang menghentikan proses eksekusi, harus terhempas ke tanah akibat tembakan tersebut. Karena warga sudah tidak kuat lagi menahan tembakkan dari water cannon, akhirnya warga pun menyerah. Satu-persatu rumah dan kios warga hancur berkeping-keping. Dan yang tersisa tinggal seonggok luka dan air mata.

************

Di bangku depan posko pengungsian, Ary duduk termenung sambil merokok. Bagi pemuda berambut pirang jabrik ini, hanya rokok lah yang mampu menghiburnya. Ternyata benar kata-kata orang itu, “Bandung bukan hanya sekedar pekara geografis, tapi lebih dari itu telah banyak orang-orang pinggiran kota yang telah dirampas haknya.”

Tiba-tiba saja Ary di kagetkan oleh suara pak Rosyd yang ternyata sudah lama duduk di sebelahnya.

“kamu jangan melamun aja, Ry”

“Aih, bapak bikin kaget aja” jawab Ary sambil cengengesan
“Gimana ini, Ry. Apakah kita hanya diam saja dan menunggu pertolongan dari pemerintah saja?”

“Di tengah keadaan yang seperti ini, pemerintah tidak akan menolong kita, Pak. Bagi mereka hanya para pemodal sajalah yang layak untuk diberikan lahan yang seluas-luasnya. Kita harus bersatu bersama seluruh warga dan kita akan terus berjuang merebut hak kita, pak.”

“Baik, Ry. Bapak setuju sama kamu”

Setelah itu, pak Rosyd pamit untuk membuang hajat. Ary kembali menikmati rokoknya, dihisapnya perlahan, lalu dihembuskan. Jika saja tak terjadi penggusuran, ia pasti akan menghabiskan waktunya di warung kopi milik, Kang Tony. Ary yang keseharian bekerja sebagai tukang ojek, sering menghabiskan waktunya untuk duduk disitu, menikmati segelas kopi sambil menunggu orderan penumpang. Kopi di warung, Kang Tony, rasanya sangatlah biasa-biasa saja. Namun adik, kang Tony yang membuat warung itu tampak luar biasa. Mey namanya. Berwajah ke arab-araban, bermata sayu. Dan barangsiapa saja yang akan memandangnya maka tergoyah lah imannya. Ary telah lama jatuh hati kepada gadis ini, namun Ary hanyalah pemuda pemalu. Ia hanya sanggup berkata, “hai, Mey” selalu begitu, setiap kali ia bertemu dengannya.

Asu. Ary memaki dirinya sendiri. Kini Warung kopi, rumah, dan harapan warga kelurahan kebon Belakang telah rata dengan tanah.
*Kisah ini terinspirasi dari penggusuran yang dilakukan oleh PT. KAI terhadap warga kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Bandung Jawa Barat\




PEMBEBASAN Bandung

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar